Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nama 'Tatar Sunda' dan Harapan Kita

Foto: Wikipedia

 

Biliksantri.com - Apakah arti sebuah nama. Ungkapan yang seringkali kita dengar. Menjadi sebuah identitas sosial, kultur budaya bahkan nilai spiritualitas seseorang di dunia. Pemberian nama juga memiliki makna dan tujuan tertentu.

 

Baik nama seseorang, benda dan lainnya masing-masing punya ciri khas berbeda. Belakangan, ada usulan dari sekelompok masyarakat untuk mengganti Provinsi Jawa Barat menjadi 'Tatar Sunda'. Pemaklumatan tersebut mungkin berkaitan erat dengan salah satu suku di provinsi tersebut.

 

Menilik informasi yang ada, Jawa Barat dihuni bukan hanya satu suku saja. Banyak suku lain yang tersebar  seperti  Jawa, Cirebon dan Melayu. Namun presentase suku Sunda lebih besar.

 

Terlepas dari itu, provinsi Jawa Barat memiliki segudang prestasi bahkan potensi manusia dan alamnya untuk dikembangkan sebagai penggerak ekonomi.

 

Bukan Solusi

 

Pengalaman saya bertemu dengan nama orang yang bagus secara arti. Tapi buruk secara perilaku. Begitu sebaliknya. Tak hanya nama, program kerja pemerintah pun demikian. Apalagi berganti periode. Ganti nama sebagai kewajiban agar terlihat mereka 'bekerja'. Tetapi bahan dan proses pekerjaannya hampir tak berbeda.

 

Contoh konkret Reklamasi Jakarta zaman Ahok beralih nama pada masa Gubernur Anies Baswedan. Nama menjadi penting sebagai upaya perubahan atau harapan suatu daerah. Paling tidak dalam skala birokrasi.

 

Tak kalah penting, bagaimana manusianya itu berperilaku. Beradab. Beretika dengan segala kekurangannya. Tanpa itu, nama hanya tinggal sebutan semata. Tak menggambarkan kinerja progres yang signifikan dalam segala bidang.

 

Pengambilan nama 'Tatar Sunda' pengganti Jawa Barat masih perlu dipertimbangkan. Apakah nama itu juga akan membuat manusianya berubah. Dari yang baik menjadi lebih baik.

 

Perlu digaris bawahi, nama sebagai simbol masyarakat, terkadang menimbulkan rasa iri. Seperti sudah saya jelaskan di depan, ada banyak suku lainnya di Jawa Barat yang bukan Sunda. Memakai nama itu, saya khawatir akan menimbulkan konflik.

 

Kekhawatiran itu berdasarkan beberapa tahun terakhir, kita (Indonesia) dilanda krisis adab manusia. Sejak Pemilu 2014 sampai sekarang, ujaran kebencian kian nyata. Media sosial dibanjiri informasi yang isinya provokatif.

 

Nama Tatar Sunda bisa jadi bumerang rasis suku satu dengan lainnya. Karena (mungkin) tak ada keterwakilan suku lainnya dalam nama itu. Mungkin tak seviral Sunda Empire, nama Tatar Sunda lebih sensitif karena berdiri di atas pemerintahan yang sah. Kesimpulan saya bisa jadi dimanfaatkan oleh oknum manusia di negeri ini. Banyak kasus yang sudah jelas, seperti unjuk rasa UU Cipta Kerja (omnibus law).

 

Usulan tersebut alangkah lebih baik diarahkan yang sifatnya pembangunan daerah. Hal yang pokok atau prinsip dalam sistem birokrasi. Terlebih di masa Pandemi ini, adaptasi diperlukan di segala lini.

 

Namun, tak menutup kemungkinan nama itu dapat berubah seperti Provinsi Papua yang dulunya bernama Irian Jaya. Waktu itu, rakyat Papua merasa jati diri mereka telah kembali. Hal itu sebagai bukti bahwa arti nama bagaikan spirit mental yang akan membekas dalam sanubari manusia.

 

Harapan

 

Harapan akan arti tujuan sebuah nama bisa kita lihat contoh sehari-hari. Saya punya kakak angkatan Aliyah (setingkat SMA), agak cantik, sedikit pendek dari saya. Namanya Sri Uripah. Sekarang dia sudah punya dua orang anak dan satu suami.

 

Menurut cerita, Sri Uripah ini anak yang beruntung. Kedua orang tuanya sangat menyayangi dan membanggakan anaknya itu. Maklum, anak tunggal. Namun, nama itu begitu unik dalam bahasa Jawa.

 

Konon, sebelum memiliki Sri, kedua orang tuanya beberapa kali punya anak tetapi meninggal. Akhirnya, lahirlah bayi terakhir (Sri Uripah), dengan harapan, dia bisa hidup dan melimpah rizkinya. Sri artinya Rizki. Dan Uripah berasal dari kata Jawa urip artinya hidup. Ada tambahan ah di belakang.

 

Ada juga nama Bejo. Nama aslinya Abdul Kholil. Dulu waktu anak-anak, ia jatuh dari pohon jambu. Karena nyawanya selamat, maka sejak itu ia dipanggil Bejo. Atau dalam bahasa Indonesia artinya orang beruntung.

 

Ada lagi yang namanya Aan Setiawan Jodi. Dulu nama kecilnya Aan Suriyanto. Berhubung ia sering sakit-sakitan. Lebih banyak sakit daripada sehat, sering sawanen (istilah Jawa). Maka kedua orang tuanya sepakat mengganti dengan Aan Setiawan Jodi. Entah kebetulan atau tidak, nyatanya sampai sekarang ia dalam kondisi sehat dan aman.

 

Ketiga contoh di atas menggambarkan betapa nama itu adalah harapan atau doa. Ada beberapa alasan latar belakang disematkannya nama. Namun, esensi atau subjek dibalik nama itulah yang paling utama.

 

Pergantian nama, kalau di daerah saya itu harus ada selametan. Tradisi Jawa mengajarkan saya betapa hati-hatinya orang Jawa dalam memberikan nama. Selametan ini bertujuan agar orang yang diganti nama itu diberikan keselamatan lahir dan batin. Apa yang buruk selama ini, bisa membawa keberuntungan ke depan baginya.

 

Begitupun nama daerah atau wilayah. Saya rasa harapan tentu ada, tetapi melihat kondusifitas politik yang belum stabil, agaknya kurang tepat untuk saat ini. Lebih baik fokus adaptasi memperbaiki bidang ekonomi dan sosial yang saat ini dihantam oleh virus Covid-19.

 

Nama itu penting sebagai identitas. Akan tetapi lebih baik dibarengi kinerja nyata, yang mencerminkan nama tersebut. Sebagai harapan yang ingin dicapai. Bukan nama saja berganti, tetapi moral dan karakter masih sama.

 

Muhammad Nur Salim, Pemimpin Redaksi Biliksantri.com LPP PAC IPNU IPPNU Mayong

Posting Komentar untuk "Nama 'Tatar Sunda' dan Harapan Kita"