Rusaknya Ekologi dalam Perspektif Ekoreligi
![]() |
(Ilustrasi : Lim) |
Biliksantri.com - Hari Air Dunia yang diperingati setiap tangal 22 Maret, mengingatkan kita akan urgensi air bagi kehidupan manusia. Ditengah gencarnya pembangunan industri berbasis ekonomi yang tinggi, air menjadi sumber utama dari peradaban manusia.
Tak hanya manusia, air juga bagian terpenting dari alam dan seluruh makhluk di muka bumi. Namun, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ternyata tak bisa menyeimbangkan antara alam dan kebutuhan manusia itu sendiri.
Pola hidup yang dianggap modern oleh manusia berdampak pada perubahan alam sekitar. Pembangunan berbasis ekonomi ternyata gagal dibidang sosial dan lingkungan.
Hal ini bisa dilihat dari angka kemiskinan dan bencana alam yang terjadi. Kebutuhan yang tidak diimbangi dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) berbasis ekosistem, nyatanya mampu membuat manusia ‘kalang kabut’.
Tak heran bila sering terjadi bencana seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan dan lain sebagainya. Tata kelola lahan hijau yang kurang maksimal pun menjadi kian menambah persoalan.
Faktor hidrometeorologi tentu bukan satu-satunya indikator bencana alam. Faktor yang lain seperti infrastruktur sungai dan sistem drainase yang buruk, juga penebangan hutan secara tidak terkendali adalah bagian darinya.
Kerusakan alam yang diakibatkan oleh kebakaran hutan, aktivitas pertambangan dan kurangnya ruang terbuka hijau adalah bentuk konsumerisme manusia terhadap alam yang berlebihan. Deklarasi Rio de Jeneiro tahun 1992 tentang lingkungan, nyatanya masih belum bisa menyadarkan manusia tentang menjaga alam.
Ekoreligi Tentang Alam
Istilah ekoreligi mengacu pada pendidikan yang berhubungan agama. Pendidikan agama Islam terutama, tidak hanya sebatas mengajarkan tentang hablum minallah (ritual vertikal) dan minannas (kemanusiaan).
Alam juga bagian dari pendidikan agama bahkan bisa menjadi sumber rujukan mengenal Tuhannya. Seperti kisah Nabi Ibrahim AS dalam pencarian jati diri mencari Tuhan-Nya.
Oleh karenanya, pemahaman pendidikan agama tidak boleh kaku dan hanya terpaku pada ritual semata. Melainkan pendidikan agama juga memperhatikan bangunan ekologis yang telah disediaakan oleh Allah, sebagai penyokong utama manusia hidup dan hidup berkemanusiaan.
Dimensi manusia memang tak terlepas dari tiga ikatan yakni Tuhan, manusia itu sendiri, dan alam. Tuhan sebagai pijakan mencari jati diri yang bebas dari makhluk lainnya. Dimensi ini adalah dimensi pokok yang harus dimiliki oleh manusia.
Kedua, dimensi manusia berhubungan dengan interaksi sosial budaya yang membentuk suatu ikatan kemanusiaan.
Ketiga, dimensi alam manusia berkaitan dengan tempat manusia berkolaborasi dua dimensi sebelumnya.
Ketiganya adalah suatu sistem kehidupan yang saling terikat satu sama lain. Apabila ketiganya tidak seimbang, arah dan tujuan manusia hidup akan sia-sia.
Jelas disini, zaman modern sekarang sedang mengalami krisis tiga dimensi di atas. Ditandai dengan banyaknya kerusakan moral dan teologi berkedok agama tetentu.
Kemudian muncul istilah egoisme karena sikap empati yang mulai luntur. Media sosial yang kian menjadi-jadi membuat manusia ‘susah’ berkomunikasi di era serba teknologi.
Allah telah memberitakan dalam kitab sucinya mengenai hal ini. Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana alam adalah akibat ulahnya sendiri.
Dalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa kerusakan lingkungan di darat dan laut akibat sebagian tangan-tangan manusia yang ‘kotor’ (QS. ar-Rum: 41 – 42). Mereka menjadikan alam hanya sebagai pemuas kebutuhan, bukan sebagai alat untuk menciptakan harmonisasi antara Tuhan, manusia, dan alam itu sendiri.
Melihat faktor dan akibat di atas terlihat setiap manusia memegang kunci pelestarian lingkungan. Secara pribadi, setiap individu, manusia harus memiliki kesadaran menjaga lingkungan. Bukan karena kelompok, perusahaan, pemerintah dan lembaga swadaya masayarakat lainnya yang menjadi dorongan untuk berbuat demikian.
Kesadaran membangun lingkungan yang arif bisa diberikan di berbagai jenjang pendidikan. Sebagai contoh adalah Pesantren at-Thariq di Garut Jawa Barat yang pembelajarannya berbasis ekologi. Hal serupa juga bisa ditemukan di Pesantren Al-Mawaddah di Kudus Jawa Tengah.
Maka dari itu, pembelajaran agama hendaknya diimplementasikan juga dalam bentuk pembelajaran alam. Sehingga, pemahaman agama tidak hanya berkutat pada Tuhan dan manusia seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Harapan saya, semoga kita menjadi pelopor kelestarian alam untuk menjaganya agar tetap utuh dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Penulis adalah Muhammad Nur Salim
Kolomnis Biliksantri.com
Posting Komentar untuk "Rusaknya Ekologi dalam Perspektif Ekoreligi"