Serawung Bukan Satu-satunya Ukuran untuk Menilai Kebaikan Orang
Biliksantri.com - Saya cukup tertohok ketika salah satu kawan saya mengatakan “Mbok kamu itu jangan main laptop terus, serawung gitu lho, ke rumah warga, atau nongkrong di pos ronda”.
Dengan mengernyitkan dahi saya heran dan bertanya-tanya dalam hati, “memangnya kenapa kalau saya tidak ke rumah warga dan ke pos ronda?, toh, nanti juga bakal ketemu warga dan ngobrol di masjid”.
Tapi saya tidak mengelak. Saya segera bangkit dari zona nyaman di depan laptop. Saya mencoba untuk mengiyakan apa yang diminta kawan saya, sembari masih mempertanyakan esensi dari apa yang ia sarankan.
Tentu hal itu cukup tidak membuat saya nyaman. Saya gelagapan ketika mengobrol tanpa bahan. Mengangguk-ngangguk sambil mendengarkan cerita yang random, berusaha tertawa atas jokes-jokes yang receh, dan yang paling menyiksa adalah, menahan untuk tidak menguap ketika situasi sudah sangat membosankan.
Kawan saya selalu menegaskan pentingnya serawung untuk menanamkan citra baik di mata warga. Karena kalau tidak serawung, menurutnya, kami akan menjadi buah bibir dari warga setempat, dan itu akan membawa kesan yang tidak baik.
Saya benar-benar masih tidak ketemu logikanya. Apa benar warga akan mencap tidak baik kalau kami semua tidak pernah serawung?
Saya teringat dengan kejadian yang sempat viral satu tahun lalu di Facebook. Sebuah mobil milik salah satu warga yang sedang mudik ke kampung halaman, dibakar tetangganya sendiri.
Alih-alih bergembira karena bisa berkumpul keluarga, pemudik tersebut justru mengalami nasib yang naas.
Ia menjumpai mobilnya sudah terbakar hangus. Mobil itu berwarna putih, merk Toyota Agya dan bahkan masih berplat putih dengan tulisan merah. Artinya mobil itu masih sangat baru.
Terlepas dari apa motif sang pelaku membakar mobil tersebut, saya justru tertarik membaca hipotesis-hipotesis liar yang biasanya tersaji secara gamblang di kolom komentar.
Saya menemukan banyak sekali kesimpulan sementara yang cukup variatif dari warganet.
Namun, dari sekian banyak komentar, saya sangat dikejutkan dengan salah satu komentar yang bernada nyinyir. Bukan kepada pelaku pembakaran, tapi justru kepada pemudik yang membawa pulang mobil barunya tersebut.
Kira-kira komentarnya begini, “Makanya, kalau pulang kampung mbok ya keluar rumah, serawung sama warga, jangan cuma main hp terus, begitu kan, akibatnya”.
Saya lupa siapa nama akun yang menuliskan komentar itu, tapi yang jelas, bisa jadi tidak hanya penulis komentar saja yang punya pikiran seperti itu. Masih banyak warga-warga lain yang memiliki pola pikir yang sama.
Jika presepsi itu benar, akan sangat menyeramkan kalau semua orang yang tidak serawung layak diganjar dengan ganjaran yang mengerikan. Termasuk dibakar mobilnya.
Komentar nyinyir di atas tentu didasarkan pada anggapan bahwa tidak serawung adalah tidak baik, dan orang lain berhak untuk bertindak membalas atas perbuatan tidak baik tersebut.
Padahal, Serawung bukan satu-satunya cara menilai kebaikan seseorang.
Tolok ukur kebaikan bukan didasarkan pada sesering apa orang ikut serawung. Tetapi keperluan apa yang ingin diobrolkan ketika berkumpul itu lebih penting.
Solidaritas Sosial
Saya tidak habis pikir, ketimbang mereka bernyinyir tentang orang lain yang tidak serawung, kenapa bukan mereka saja yang datang berkunjung?.
Tujuan serawung si satu sisi memang baik. Berkumpul bersama di satu tempat bersama warga lain dan berbicara berbagai macam topik dari politik sampai ekonomi, dari presiden sampai pak RT, dan dari sabang sampai merauke. Semuanya bisa menjadi bahan obrolan.
Namun, tidak semua orang punya waktu untuk serawung. Kesibukan dan prioritas orang tentu berbeda-beda. Bahkan ada juga jenis orang yang tidak serawung bukan karena tidak sempat dan tidak mau, tapi memang tidak bisa.
Jenis orang yang tidak bisa serawung ini, dipaksa dan dilatih sekuat apapun, ia akan tetap mengalami kesulitan dalam bergaul, duduk di pos ronda, dan berbicara ngalor ngidul. Tipe manusia yang hanya bisa diam dan senyum ketika diajak berbicara.
Bahwa serawung bertujuan untuk menguatkan solidaritas sosial di masyarakat, itu benar!. Namun, serawung hanya salah satunya, bukan satu-satunya.
Masih banyak media lain yang bisa digunakan orang untuk menguatkan solidaritas sosial mereka. Tentu dengan menyesuaikan situasi dan kondisi masing-masing orang.
Seorang pengusaha akan lebih memilih menyumbangkan uang untuk kepentingan dan kegiatan warga, daripada harus meluangkan waktu malamnya untuk ngopi dan bermain gaplek.
Seorang ulama bisa membuktikan solidaritas sosialnya dengan aktif di masjid, mengisi pengajian, dan menjadi imam sholat, daripada harus nongkrong dan ngerasani pemerintah di pinggir jalan.
Begitu juga dengan mahasiswa, karyawan, bahkan pemilik toko kelontong pun memiliki pilihan untuk bersosial dengan cara mereka masing-masing.
Semoga cara pandang konservatif tersebut segera enyah. Bukan karena ingin menghilangkan budaya serawung. Tapi lebih kepada menghargai orang-orang yang memang benar-benar tidak punya waktu, atau bahkan tidak punya bakat untuk serawung.
Muhammad Nur Salim
Kolumnis Biliksantri.com
keren
BalasHapusKerennn✨
BalasHapus