Muslimah Tak Hanya Yang Berjilbab
Biliksantri.com - Belakangan ini baik di media atau di ruang-ruang publik perbincangan mengenai muslimah selalu saja melibatkan perempuan-perempuan berjilbab dan nyaris melupakan mereka yang tidak berjilbab. Coba tengok saja di beranda-beranda media sosial anda, atau paling mudah ya googling saja.
Ketik kata kunci “muslimah“ dan saya pastikan anda akan melihat gambar ratusan bahkan ribuan foto-foto perempuan berjilbab, dari yang jilbab sedang, agak panjang, semi syar’i dan bercadar.
Lalu di mana potret muslimah yang tidak berhijab? Bisa dipastikan tidak ada, atau minimal kalaupun ada suaranya tidak dominan dan tidak terdengar.
Dalam wacana muslimah hari ini, mereka perempuan yang tidak memakai hijab seakan tidak mendapat tempat aktualisasi baik dalam ekspresi keberagamaan dan spiritualitas. Karena dalam pengertian banyak orang menjadi muslimah haruslah berjilbab. Mau sebaik apapun, jika belum berhijab dirasa tidaklah sempurna.
Tengok saja beberapa kajian muslimah yang menjamur di masyarakat kita hari ini. Hampir setiap organisasi ataupun komunitas baik di kampus maupun di luar kampus membuat kajian khusus muslimah.
Di setiap perkumpulan yang melibatkan perempuan baik untuk kalangan siswi sekolah, mahasiswi, mamah-mamah muda sampai ibu-ibu yang sepuh semua membuat perkumpulan untuk mengaji atau bahasa kerennya bikin kajian.
Animo perempuan muslim untuk belajar agama sangatlah tinggi, tapi memang kebanyakan anggotanya semua berhijab. Sesekali saya tanya apakah mereka mempunyai anggota yang tidak berjilbab, jawabannya bisa dipastikan tidak ada.
Pengajian muslimah tersebut di antaranya beranggotakan muslimah dengan hijab-hijab panjang nan syar‘i, bercadar, sampai yang berbusana kekinian nan chic dan fashionable.
Namun sayang sekali, ragam pengajian tersebut tak memberikan ruang-ruang alternatif bagi muslimah yang kebetulan tidak berhijab. Ya, mereka juga muslimah bukan? Memangnya muslimah hanya yang berhijab?
Saya katakan demikian tidak asal mengklaim. Pengalaman teman saya salah satunya. Ia acapkali bercerita ingin belajar ngaji tapi tanpa ingin mendapatkan justifikasi sana-sini terhadap sesama muslimah.
Dia juga punya hak belajar Islam, dia juga berhak untuk bisa mengaji al quran, belajar tafsir hadist dan ia juga berhak meningkatkan spiritualitas diri, juga berhak menyandang identitas muslimah.
Teman saya ini beberapa kali mengikuti pengajian di majelis-majelis ta‘lim yang mayoritas anggotanya berhijab besar, bercadar dan kerap memakai istilah-istilah Arab yang sama sekali ia tidak ketahui. Ia merasa canggung, kikuk, dan minim ilmu agama.
Busana nyatanya juga bekerja cukup signifikan untuk memberikan asumsi atas pemahaman seseorang terhadap pengetahuan agama. Atribut muslimah yang dekat sekali dengan perempuan berjilbab, apapun bentuknya, tidaklah salah tapi tidak sepenuhnya benar.
Teman saya menganggap seluruh anggota majlis ta‘lim tersebut sudah berilmu dan mumpuni dalam pengetahuan agama Islam hanya karena sudah mengenakan baju muslimah syar’i, juga karena kerap berbicara jazakillah, tabarakallah, masyaallah, fi amanillah, syafakillah dll.
Sedangkan ia sama sekali tidak tahu menahu artinya kata-kata itu dan bahkan kebingungan mau membalas apa. Saya tidak sedang mengatakan baik dan buruk namun hanya mencoba menuliskan pengalaman-pengalaman sederhana perempuan Muslim, salah satunya dari teman saya yang tidak berjilbab.
Acapkali teman-teman saya yang tidak berhijab merasa canggung untuk ikut kajian karena merasa terintimidasi oleh busana, karakter hijab, dan juga bahasa yang kadangkali memakai istilah-istilah Arab.
Padahal saya yakin, dan semoga saja demikian, bahwa mereka yang berhijab nan syar’i tidak lantas menjudge mereka yang tidak berhijab secara terang-terangan. Meskipun tentu saja dalam beberapa kasus hal tersebut nyata adanya.
Correct’ Styles
Fenomena umat Muslim global hari ini tak lepas dari potret kesalehan yang diekspresikan salah satunya dengan hijab. Di Indonesia sendiri maraknya hijab semakin berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir, terlebih dengan masuknya ekspresi keagamaan yang muncul di media-media sosial.
Simbol-simbol kesalehan yang diadopsi masyarakat umum menurut beberapa pakar menjadi semacam penanda islamisasi yang mulai masuk ke dalam sistem budaya sosial masyarakat kita.
Bahkan di ruang-ruang publik khususnya sekolah wacana jilbab juga sangat dominan sebagai wujud ketaatan beragama yang dianjurkan untuk para siswi. Pemahaman seperti pemakaian jilbab bahkan untuk anak usia dini menjadi asupan sehari-hari di sekolah. Makna ketaatan dalam beragama salah satunya ditetapkan melalui peraturan memakai jilbab.
Seringkali saya menemukan informasi di depan-depan sekolah atau tempat tertentu yang dikhususkan untuk perempuan berjilbab seperti, kawasan berjilbab, hijab only, kawasan muslimah dll.
Jika demikian, lalu kemana donk perempuan yang tidak berjilbab bisa ikut belajar agama? Ikut mengaji? Apakah mereka harus berhijab dulu baru bisa masuk kategori muslimah? Dan bisa secara bebas memasuki kawasan-kawasan khusus muslimah tersebut?
Asumsi-asumsi umum masyarakat kita tentang muslimah adalah mereka yang berbusana muslim dan berhijab. Busana muslim dianggap sebagai potret kesempurnaan perempuan muslim. “Inilah busana yang ‘benar’ dan sesuai anjuran agama”, dan bagi siapapun yang belum memutuskan untuk mengenakan busana muslim dan jilbab dianggap belum sempurna untuk menjadi muslimah.
Padahal jika kita kembali kepada makna muslimah, sesuai definisinya, adalah perempuan muslim. Muslimah adalah mereka yang beragama dan menjalankan syarat serta rukun Islam dengan baik.
Muslimah adalah mereka yang berikrar untuk menjadi umat nabi Muhammad, mengikuti kehendak Allah dan beriman sepenuhnya kepada Allah.
Namun hari ini, menjadi muslimah hanya dilihat dari busana dan jilbabnya saja. Makna ini kian direduksi oleh pemahaman keagamaan yang cenderung konservatif dan literal dalam memaknai agama.
Pereduksian makna muslimah di ruang-ruang publik sebagaimana di media sosial semakin mempersempit ruang gerak perempuan muslim yang tidak berjilbab. Seperti kasus teman saya salah satunya. Mau tidak mau akhirnya dia memutuskan untuk berjilbab selain karena alasan mudah diterima juga untuk menghindari intimidasi di pengajian.
“Habisnya ditanyain mulu, kapan berhijab?
Bahkan dari kasus ini, sebagian lain tak lagi ingin mengikuti kajian muslimah offline. Mereka lebih nyaman mengikuti dan mendengarkan ceramah dari ustadz-ustadzah yang dinilai terbuka. Mereka justru menemukan kebahagiaan saat mengaji secara online salah satunya agar tak lagi mendapat sindiran-sindiran untuk berhijab namun masih tetap bisa memperdalam ilmu agama.
Seperti suatu waktu saya coba mengajak teman saya yang tidak berjilbab untuk ikut kajian, dia hanya membalas ajakan saya sambil berkata,
“Ga mau ah, nanti ujung-ujungnya disuruh pakai jilbab hahaha. Ngaji online aja bebas, enak. Yang penting ke kyai atau ustadz yang bener aja. Intinya aku bisa belajar tafsir alquran dengan baik langsung ke pakarnya !.
Saya hanya tertawa saja mendengar kelakar teman saya itu sambil berkata “aman, saya tak akan bilang semoga kamu segera dapat hidayah kok, eeeeeeh....“.
(Maria Fauzi/Lim)
Posting Komentar untuk "Muslimah Tak Hanya Yang Berjilbab"