Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Arina dan Hafalannya

Ilustrasi : muslim.okezone.com


Namanya Arina Manasikana, teman-teman kecilnya sering memanggilnya dengan nama Arina. Ia anak perempuan yang tekun sekali belajar, dan suka mengingat-ingat pelajaran yang baru saja disampaikan gurunya di sekolah.  Pengetahuan baru dari guru ngajinya sangat sayang sekali baginya untuk mengabaikan. Arina memang sangat cerdas dan mempunyai daya ingat yang lumayan tinggi. Ketika guru di sekolah atau di tempat ngajinya memberikan pertanyaan-pertanyaan, Arina sangat tangkas sekali dalam mengacungkan jari telunjuk dan jawaban yang dilontarkan seringkali benar.

Dia terlahir dua bersaudara, adiknya laki-laki, Ilzam namanya. Kepandaiannya juga tidak kalah dengan Arina. Selisih umur mereka hanya dua tahun. Mereka berdua terlahir dari seorang Ibu pengusaha tempe, dan Ayahnya seorang Guru Madrasah Ibtidaiyah. Masriyah dan  Sofwan namanya. Kelembutan dan kecerdasan yang dimiliki kedua orang tuanya itulah yang mengalir di darah Arina dan Ilzam.

Arina kecil di didik oleh bapak dan ibunya untuk selalu mencintai waktu, mengisi ruang-ruang kosong dengan belajar, membaca buku, menulis, juga menghapal surat-surat pendek. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Arina seringkali mendapat peringkat pertama di kelasnya, juga beberapa kali juara lomba cerdas cermat tingkat sekecamatan hingga Kabupaten.

Melihat Arina kecil dengan kecerdasannya, pak Sofwan acap kali membayangkan agar Arina bisa sekolah di Perguruan Tinggi. Tapi pak Sofwan belum tahu cita-cita apa yang diharapkan Arina. Berbeda dengan ibunya, ia lebih menginginkan Arina belajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an. Firasat seorang ibu yang yakin Arina mempunyai kompeten untuk itu. Seorang ibu memang lebih tahu isi hati anaknya.

Suatu ketika, pak Sofwan bertanya pada anaknya yang masih duduk di bangku kelas enam;

"Arina, besok kalau sudah besar, kamu ingin bercita-cita menjadi apa ?"

"Aku ingin menghapal Al-Qur'an abah." Jawab Arina dengan polosnya

Sontak! perasaan pak Sofwan terenyuh;
"Betapa luhur harapanmu nak, masih kecil sudah berkeinginan menghapal Al-Qur'an." Batin pak Sofwan.

"Kenapa Arina ingin menghapal Al-Qur'an ?" Tanya lagi abahnya

"Aku sangat mencintai Al-Qur'an abah, dan aku ingin menghapalnya." Jawab Arina yang saat itu belum mengerti kesulitan dan konsekuensi apa bagi penghapal Al-Qur'an nantinya.

"Arina bisa berkeinginan kuat untuk menghapal, apa yang menginspirasi Arina ? Abahnya bertanya bertanya lagi

"Aku melihat anak-anak kecil itu loh bah di televisi atau video-video, masih kecil sudah hapal beberapa juz Al-Qur'an, juga lantunan merdu ayat-ayatnya itu loh, sangat menenangkan." Jawab Arina dengan semangat.

*

Waktu tak terasa telah menumbuhkan Arina besar, baru saja Arina mendapat surat kelulusan SMP, Arina ingin melanjutkan ke pondok pesantren dan mulai menghapal Al-Qur'an. Sang Ibu merestui, namun sang bapak menginginkan agar Arina sekolah Aliyah saja terlebih dulu. pak Sofwan masih ragu jika Arina menghapal Al-Qur'an, batinnya ada kesulitan setelah selesai menghapalnya yaitu menjaga hapalan, sebab itulah pak Sofwan sedikit ragu dan menyuruhnya agar sekolah Aliyah dulu, dengan maksud agar niatnya menghapal mulai hilang.

Abah, dari kecil engkau mengajariku waktu
Menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya
Dan hari ini, aku ingin mencintai waktu
Mencintainya dengan setepat-tepatnya
Melantun dan menghapal ayat-ayatNya
Menggali makna dan kebesaranNya
Abah, adakah waktu yang lebih berharga?
Dari mengingat dan mencintaiNya ?


Akhirnya Arina nurut kepada sang Bapak. Sekolah Aliyah lebih dulu, dan cita-citanya terpendam  sementara.

Hingga kelas XII Aliyah, Arina menjalani hidup yang dipilihkan oleh Bapaknya.
Sampai pada suatu saat, bertepatan dengan Ujian Akhir Sekolah, cobaan-cobaan menerpa Arina, ibunya sakit dan dirawat di Rumah Sakit.

Di rumah sakit, ibunya berpesan;

"Arina, jika kamu ingin menghapal Al-Qur'an, yang tekun ya nak, Ibu dukung kamu, sebentar lagi kamu lulus sekolah, dan kamu akan memulai hapalanmu."

Mata ibunya berkaca-kaca, mata Arina meleleh di pipinya.

"Iya bu, Arina akan menghapal demi Ibu, Arina janji. Tapi ibu juga harus janji pada Arina untuk sembuh, janji untuk sembuh ya bu?". Arina memohon.

"Iya Arina, jangan menangis lagi, sebentar lagi ibu akan sembuh kok." Jawab ibunya sambil tersenyum.

Dengan rasa haru dan sedih, senyum dan tangis, Arina memeluk erat ibunya.

Setelah beberapa hari dirawat, akhirnya sang Ibu menghembuskan nafas terakhir. Arina sangat terpukul, matanya tak henti-henti dibanjiri oleh linang air mata. Pak Sofwan sang bapak, mencoba menenangkan Arina dan memeluk anaknya sambil membisikan kata yang menenangkan;

"yang tabah Arina, ibu akan bahagia di surga, apalagi jika nanti kamu hapal Al-Qur'an, ibumu pasti sangat bahagia di sana, abah akan mendukungmu nak, abah mendukungmu." bisik lirih abahnya di telinga Arina

Beberapa Minggu sepeninggal Sang Ibu, kini giliran bapaknya mendadak terkena stroke. Ilzam baru saja kelas satu SMA, dan Arina baru saja lulus Aliyah.  Akhirnya tertunda lagi niat Arina untuk belajar menghafal Al-Qur'an di Pondok Pesantren. Arina pun  sempat putus asa dan memendam dalam-dalam harapan-harapannya.

Ya Robbi
Aku percaya Engkau tak akan menguji hamba kecuali sekadar kesanggupannya. Maka kuatkanlah daku Tuhan. Kuatkanlah daku untuk tetap tabah dan ikhlas. Kuatkanlah daku untuk tetap pada iman dan cintaMu

Ya Robbi
ku mencintai Al-Qur'an dan ingin menghapalnya. Tapi mengapa,Engkau ciptakan jeda di antara harapan-harapanku?
Apakah cita-citaku tidak Engkau ridhoi ?

Ya Robbi, restuilah mimpiku,sembuhkanlah abahku, dan mudahkanlah urusanku. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku

Demi membayar biaya sekolah Ilzam dan merawat abahnya, Arina meneruskan usaha ibunya membuat tempe. Tapi tidak bertahan lama, Arina melamar pekerjaan di sebuah toko swalayan sekitar, agar malamnya ia bisa ikut mengaji di pesantren dekat rumahnya.

Dua setengah tahun lamanya Arina bekerja dan merawat abahnya, juga memendam cita-citanya. Adiknya, Ilzam, sudah lulus Aliyah dan mulai bekerja di toko swalayan juga.

"Kak, aku sudah bekerja, biar aku yang merawat abah, kak Arina masuklah pesantren, dan gapai mimpimu" suruh adiknya

"Waktu sudah terlambat dek, bapak sakit, tak ada yang membiayai sekolahku dek." Ucap Arina

"Biar pakai uangku saja kak, tidak apa-apa." Kata adiknya

"Jangan dek, itu sudah pas-pasan buat pengobatan abah." Tolak arina.

"Iya Arina, kamu mondok aja, biar abahmu, nanti bulek yang ngerawat." saut bulek Arina sambil menawari

Sudah bertahun-tahun, sakit pak Sofwan tak kunjung sembuh. Sampai pada suatu hari, Kiai Ahmad, teman lama pak Sofwan datang menjenguk. Kiai Ahmad bercerita banyak kepada pak Sofwan. Pak Sofwan baru tahu kalau teman lamanya punya pesantren Tahfidzul Qur'an yang diasuhnya sendiri, pak Sofwan juga menceritakan semua perihal Arina. Termasuk keinginan Arina untuk mondok. Tanpa pikir panjang Kiai Ahmad menawari agar putrinya mondok saja di pesantrennya saja.

"Arina ?". Panggil bapaknya

"Iya Abah." Jawab Arina

"Ini pak Ahmad, teman lama bapak waktu mondok dulu, dia punya pesantren, kamu mondok aja di sana ya ? dan gapai mimpimu." Mohon ayahnya

"Nanti yang ngerawat Abah siapa ? Adek ilzam kerja." Tanya Arina

"Biar bulek nanti yang ngerawat Abah, yang penting kamu bisa mengejar mimpimu." Suruh abahnya

Tak lama, Arina langsung berangkat ke pesantren dan cita-citanya benar-benar terwujud hari itu, namun tak berselang lama ia di pesantren, sungguh cobaan-cobaan bertubi-tubi hadir pada kehidupan Arina. Arina dapat kabar bahwa abahnya komplikasi dan dirawat diruang ICU. Arina pulang dan menemani abahnya di rumah sakit, tak lupa, Arina juga membawa Al-Qur'an terjemahannya, agar sewaktu-waktu ia bisa membaca dan menghapalnya, meski di rumah sakit.

Ketika abahnya sedikit pulih, pak Sofwan dan arina saling bercerita perihal kasih sayang, terutama perihal ibunya yang sangat menyayangi Arina, juga cerita mula-mulanya Arina di pesantren yang sangat menghibur abahnya.

"Arina, hapalanmu sudah sampai mana nak ?". Tanya abahnya

"Alhamdulillah, selama beberapa bulan ini, hapalan arina sampai 7 juz Abah, do'akan abah, semoga diberi kemudahan dan ingatan dalam menghapalnya." Jawab Arina sambil tersenyum

"Jelas ku do'akan, putriku yang paling manis kok masak tidak ku do'akan." Abahnya ngajak guyon.

"Sudah lumayan tuh 7 juz, dalam menghapal yang menjadi kesulitannya apa Arina ?". Tanya abahnya

"Tidak ada kesulitan Abah, kalau dijalani dan dinikmati, tidak ada kesulitan sama sekali, ya mungkin terkadang ada ayat-ayat yang lupa sedikit, tapi itu hal wajar." Jawab Arina.

"Oh iya Abah, beberapa hari kemarin aku bermimpi bertemu ibu, katanya ibu sangat rindu sekali kepada Abah, ibu juga bilang pada Arina kalau ibu sangat bahagia sekali jika impian Arina sekarang mulai terwujudkan." Arina bercerita

Abahnya tersenyum,
"jika nanti kamu bertemu ibu lagi, sampaikan juga padanya, Abah juga sangat rindu pada ibu." Ucap abahnya sambil bercanda.

"Hehehe..... siap abah." Senyum arina dengan bahagianya.

"Abah ingin mendengar lantunan suara merdumu Arina, mau kan Arina mengaji untuk Abah ?". mohon abahnya.

"Siap abah, tapi besok janji sembuh ya, Hehehe"  Pinta Arina dengan lucu.

Arina mulai melantunkan ayat-ayat Al-quran, ia sangat fokus membacanya, entah apa yang terbayang dibenak Arina ketika membacanya, suaranya terdengar mulai parau dan terisak-isak, sepasang matanya juga meneteskan air mata. Abahnya yang berada di ranjang juga melelehkan air mata, namun tanpa suara, air matanya membasahi bantalnya.

Selang beberapa menit Arina membacakan ayat suci, Arina tak sadar jika nafas abahnya telah terhenti, Abahnya dipanggil ke hadiratNya tepat bersama lantunan merdu anaknya. Beberapa saat Arina berhenti mengaji, dan melihat abahnya hanya diam, sontak Arina sangat kaget dan takut, ia pegang pergelangan tangan abahnya, denyut nadi abahnya seperti sudah tidak terasa, ia berlari memanggil-manggil dokter, dan benar, nyawa Abahnya sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

Langit benar-benar menjatuhkan air mata hari ini
Dahan-dahan menggugurkan daunnya sendiri
Segala ruang gerak seperti terhenti hampa, senyap, sunyi


"Belum sempat kubahagiakan ibuku, abahku harus pergi dari hidupku. sungguh! Malam tak lagi berbintang, siang tak lagi bersinar
adakah hari esok, kebahagiaan?"

Setelah 40 hari kepulangan abahnya, Arina berangkat lagi ke pesantren, namun tekadnya, tidak bergairah lagi seperti dulu, harapan-harapannya seakan mulai redup, sahabat-sahabatnya di pesantren selalu menyemangatinya, agar jangan sampai putus harapan,
"ibu dan ayahmu menginginkanmu menjadi hafidz Arina, kalau kamu bisa menggapai harapanmu ini, betapa bahagianya perasaan orang tuamu di surga."

Ringkas waktu, akhirnya Arina kembali dengan tekad kuatnya, memulai hafalannya hingga ia benar-benar di wisuda bil ghoib, hafal 30 juz Al-Qur'an.
 

Khoirul Latif, Pemuda asli kota Demak

Posting Komentar untuk "Arina dan Hafalannya"