Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kanjengan Mengkaji Ulang Sejarah Mbah Mutamakkin Kajen

 

Pati, biliksantri.com - Salah satu pegiat Kaneman Kajen Jonggringan (Kanjengan), Taufiq Hakim, menyebut jika kajian tentang Mbah Mutamakkin belum banyak. Sarjana yang paling awal menelitinya adalah S. Soebardi. Ia menulis disertasi tentang Serat Cabolek untuk keperluan studi doktoral di Australian National University.

Namun demikian, kata Taufiq, Serat Cabolek rupanya tidak menarasikan tentang Mbah Mutamakkin secara lengkap.  Mencakup riwayat, perjuangan, atau pun perihal ajaran-ajaran Al-Mutamakkin. Serat Cabolek lebih fokus menarasikan pengadilan Keraton Surakarta, presentasi Ketib Anom yang angkuh tentang ilmu hakikat, serta beberapa bait tentang pengakuan Pakubuwana II atas kewalian Al-Mutamakkin.

Warga Desa Kajen yang menyelesaikan studi Sastra Jawa di UGM ini mengatakan, membaca ulang Serat Cabolek, nyaris tidak ditemukan ajaran Mbah Mutamakkin. Kecuali kode-kode kebahasan atau sanepan khas puisi Jawa yang menunjukkan tata susila Mbah Mutamakkin yang tawadu’, egaliter, santun, serta pribadi yang tekun.

“Setelah kami cermati lagi, Serat Cabolek merupakan produk kebudayaan pujangga istana Surakarta, yang kemudian hari disalin oleh Yasadipura II pada zaman pemerintahan Pakubuwana IV,” jelas Taufiq.

Pria kelahiran Pati, 28 Juni 1993 ini menyebut, ada sedikit koreksi untuk kajian-kajian tentang Mbah Mutamakkin yang bersumber pada Serat Cabolek. Menurut hasil pembacaan Kanjengan, Serat Cabolek bukanlah representasi ‘agama Keraton’ yang mendiskreditkan ‘agama rakyat'. Namun, legitimasi yang dibangun oleh Sang Pujangga dimaksudkan sebagai perlawanan simbolik Keraton terhadap hegemoni kolonial Belanda yang semakin represif dalam kurun abad ke-18-19. Terutama pada munculnya wacana-wacana Islam yang disinyalir mengancam kekuasaan Belanda.

“Menurut kami Serat Cabolek dibuat bukan untuk meremehkan Mbah Mutamakkin. Wong Raja Surakarta saja mengakui kewalian beliau. Penjelasannya ada di salah satu bait dalam pupuh Asmaradana,” terang dia.

Lebih dari itu, Taufiq mengatakan, dalam 12 manuskrip Serat Cabolek yang dibaca Soebardi, Mbah Mutamakkin juga tidak mewedar lakon Dewa Ruci. Lakon yang sarat nilai-nilai kebudayaan dan religiusitas orang Jawa itu adalah buah karya Yasadipura II, yang dikisahkan melalui tokoh Ketib Anom.

“Jadi itu bukan wedaran Mbah Mutamakkin,” imbuhnya.

Artinya, kata Taufiq, Serat Cabolek bukanlah manuskrip yang bertujuan membabar ajaran Mbah Mutamakkin. Ia juga menyarankan agar para peneliti menggali ajaran Mbah Mutamakkin dari sumber-sumber selain Serat Cabolek. Bisa berupa manuskrip yang diwarisi secara turun-temurun oleh warga Kajen, cerita tutur tentang Mbah Mutamakkin, maupun masjid yang diyakini sebagai peninggalan Mbah Mutamakkin.

Sementara itu Koordinator Kanjengan, Farid Abbad mengatakan, pihaknya telah blusukan ke sudut-sudut desa. Mereka mengumpulkan manuskrip dan beragam cerita tutur dari warga Desa Kajen tentang Mbah Mutamakkin. Beberapa daerah sekitar juga mereka kunjungi untuk mencari data. Seperti Desa Sekarjalak, Cabolek, Ngemplak, dan sekitarnya.

“Semuanya berkaitan dengan riwayat Mbah Mutamakkin. Data-data yang telah terkumpul tersebut sedang dan akan diteliti lebih lanjut,” kata dia.

Mahasiswa Program Magister Antropologi UI ini menyebut, kajian-kajian yang telah dan akan diterbitkan Kanjengan, diharapkan mampu menjadi kaca benggala bagi para pembaca. Khususnya masyarakat Kajen. Sebab, Kanjengan menawarkan perspektif para muda-mudi Kajen atas sejarah kampung halaman mereka. Khususnya riwayat dan samudera keilmuan Mbah Mutamakkin.

(Putra/Lim)

Posting Komentar untuk " Kanjengan Mengkaji Ulang Sejarah Mbah Mutamakkin Kajen "