Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Santri Protes pada Kiainya karena Menjadi Kepala PLN


 
Biliksantri.com - Matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Masih terdengar suara ayam tetangga yang sedang berkokok. Hawa pagi ini menurutku lebih dingin dari biasanya, ditambah lokasi Pesantren kami yang berada di kaki gunung, membuat udara jauh lebih dingin daripada daerah-daerah lain di dataran rendah. Namun hal itu bukan menjadi alasan untuk bermalas-malasan di hari libur sekolah ini, hari Ahad.
 
Agenda rutin di hari Ahad pagi yaitu Pengajian Kitab Ta`lim Muta`allim yang langsung diampu oleh Ibu Nyai kami. Pengajian ini tentunya banyak dinantikan oleh para santri, termasuk aku. Seperti biasa, setelah selesai Sholat Subuh dan wiridan, para santri segera bergegas ke tempat pengajian yaitu di Aula Pesantren untuk berebut posisi duduk.
 
Aku dan temanku, dwi segera menuju ke Aula. Setelah sampai, aku bergegeas mengambil meja dan langsung menempatkan diri di bagian pojok paling depan. Memang posisi ini adalah posisi favoritku dan dwi. Aku segera meletakkan Kitab dan buku catatanku di atas meja. Kemudian teman-teman yang lain mulai berdatangan ke Aula ini. Dan kami pun mulai lalaran (membaca bait-bait Nadhom) dalam Kitab Ta`lim Muta`allim sambil menunggu kehadiran ibu nyai.
 
Beberapa saat kemudian ibu nyai sudah hadir dan pengajian pagi ini dimulai. Ditengah Pengajian ini, ibu nyai tiba-tiba bercerita mengenai santri beliau yang sudah lulus, sebut saja namanya kang Ahmad.
 
Kang Ahmad nyantri di Pondok Pesantren ini sudah lama sekali, karena saat kang Ahmad nyantri masih bertempat tinggal di lokasi Pondok Pesantren yang lama, belum pindah ke Lokasi Pondok yang baru, dan saat itu Pak Kiai masih Sugeng. 
 
Kang Ahmad, santri asal Sumatera ini merupakan santri yang alim, taat peraturan, tekun beribadah dan juga rajin. Sudah menguasai kitab fiqih, misalnya kitab Fathul Mu`uin. Ilmu Alat, Nahwu Shorof pun juga sangat dikuasai. Jika ditanya tentang Kitab Alfiyyah Ibnu Malik, kitab yang terkenal di kalangan santri, Kang Ahmad pun juga hafal dan sangat menguasainya. 
 
Setelah mondok (belajar di Pondok Pesantren) beberapa tahun, dan dirasa bekal ilmu sudah cukup, kang Ahmad sowan kepada Pak Kiai, meminta izin untuk kembali ke kampung halamannya di Sumatera. Kemudian Pak Kiai mengizinkan kang Ahmad untuk kembali ke Sumatera.
 
Beberapa tahun kemudian kang Ahmad sowan kepada Pak Kiai. Saat sowan, kang Ahmad menceritakan bagaimana kehidupannya dan pekerjaanya di Sumatera. Saat itu, kang Ahmad menangis di hadapan pak Kiai saat menceritakan kehidupannya di Sumatera.
 
"Ada apa, kang Ahmad?" Tanya pak Kiai.
 
"Pak Kiai, saya di Sumatera tidak jadi Kiai.. Salah saya apa ya pak kiai? Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pak Kiai, jika saya punya banyak salah,".
 
"Lha kamu jadi apa le, disana?" tanya pak Kyai.
 
"Saya jadi kepala PLN, Pak Kiai.." jawab kang Ahmad sambil menangis.
 
Sambil sedikit tertawa, pak Kyai menjawab;
 
"Loh le, nek mondok iku ojo diniati dadi Kiai (kalau belajar di pesantren, jangan niat untuk menjadi Kiai).. tapi niatlah mencari Ridho Allah, menghilangkan kebodohan, dan menghidupkan Agama Islam. Untuk profesinya jadi apa nanti, kita serahkan kepada Allah. Allah yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya,".
 
"Oh, ngonten nggih pak Kiai?," kang Ahmad sedikit lebih tenang.
 
"Iyo le.. kamu diberi Allah amanah untuk menjadi Kepala PLN itu juga pasti banyak hikmahnya. Dengan adanya listrik, kamu bisa menghidupkan Agama Allah jika diniati dengan baik. Kamu lihat masjid-masjid, kalau tanpa listrik pasti jamaah akan kesusahan. Adzanpun tidak bisa berkumandang dengan kerasnya tanpa bantuan speaker. Dengan adanya listrik, juga bisa menerangi Pondok-pondok pesantren. Dengan adanya lampu, santri-santri yang sedang nderes, belajar, mutholaah kitab, ataupun saat batsul masail dimalam hari sangat terbantu. Selain itu, seorang Kiai ketika mengajar ngaji pada santrinya juga membutuhkan listrik, dalam hal ini lampu untuk penerangan. Coba bayangkan, misal dalam pengajian malam, tiba-tiba listrik mati, kemungkinan pengajian tidak jadi dilanjutkan. Nah, jadi profesi mu saat ini, menjadi Kepala PLN itu dibutuhkan oleh Kiai, santri, serta masyarakat pada umumnya."
 
“Oh ngonten nggih pak Kiai, terima kasih banyak pak Kiai," jawab kang Ahmad dengan lebih tenang.
 
"Iyo le, intinya bersyukurlah dengan profesi kamu saat ini, Insyaallah berkah dan bermanfaat untuk umat. Dan niatkan untuk berdakwah. Dakwah itu punya banyak jalan, tidak harus menjadi Kiai," kata Kiai.
 
"Nggih pak Kiai, sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak pak kiai.. Saya izin pulang ke Sumatera nggih, Alhamdulillah sudah lebih lega," jawab Kang Ahmad.
 
"Iyo le, hati hati di jalan,".
 
Setelah bu Nyai bercerita tentang Kang Ahmad, aku berbisik kepada Dwi yang duduk tepat di sampingku.
 
"Ternyata begitu ya Dwi, Alhamdulillah kita dapat pelajaran baru," ucapku.
 
Kemudian dwi menjawab;
 
"Iya yuk kita perbaiki niat ya dan harus yakin, pasti Allah memberikan jalan yang terbaik buat kita,".
 
"Iya benar sekali dwi," jawabku. (Red)


*Penulis adalah Ahla Hulailah, santriwati asal PP Kyai Galang Sewu Tembalang Semarang

Posting Komentar untuk "Ketika Santri Protes pada Kiainya karena Menjadi Kepala PLN"