Namaku Ribut Pribumi
Doc. kumparan.com |
Jepara, biliksantri.com - Ribut
Pribumi punya masalah. Ribut Pribumi merasa terancam dan khawatir dengan Asing.
Asing Arab sudah pulang. Meninggalkan uang. Lalu asing mana yang dikhawatirkan
dan mengancam Ribut Pribumi? (*Sensor*)
Ribut
Pribumi lemah. Lemah ini adalah motif protes, khawatir, terancam terhadap
keberadaan Asing. Teringat pula akan pengalaman sejarah, bagaimana kala Eropa
(Belanda dkk) diberi kepercayaan lalu seenak udel memperlakukan Ribut Pribumi.
Sungguh terlalu.
Lemah
apa sih Ribut Pribumi? Pukul rata dulu saja secara pengamatan kategoris bahwa
lemahnya adalah lemah secara ekonomi, skill, dan mental.
Ekonomi
yang dimaksud adalah modal. Lemah Pribumi di hadapan Asing, sang pemilik modal.
Pemodal yang berkuasa, mengatur, mendikte, dan bahkan memaksa kayak asing zaman
Belanda.
"Emang
Asing zaman kini bakal begitu juga kek Belanda?" tanya Adem Pribumi.
"Ya
bisa dunk. Sistemnya akan membentuk begitu, yang bermodal yang berkuasa. Zaman
berubah, manusia tetap sama memenuhi nafsu yang tak pernah cukup," kata
Ribut Pribumi.
Adem
Pribumi merenung, lalu menanggapi. "Lalu kalau tak mau mesra sama Asing,
sama pemodal, tak mau begitu, ya sudah. Maka terlantarlah sumber daya alam
(SDA). Berpuluh-puluh tahun sudah terlantar. Maunya garap sendiri SDA sendiri
kan ya, tapi modal lemah. Nafsu tinggi, tapi modal dan skill kurang. Nah,
gimana tuh? Nunggu lebaran kuda?
"You
know lah kan soal skill? Hai Ribut Pribumi, gak punya skill mumpuni
kita. Ya kan? Skill soal menguasai teknologi, menjalankannya, dan menguasai pasar/sistem.
Ya, pukul rata aja kamu begitu. Karena inilah juga motif penggerakmu melawan
Asing. Ya, kan? Aku tahu! Takut kegencet, takut kalah dengan Asing. Tak kuat
hamba melawan Asing. Belum apa-apa diri. Hamba lemah, dhaif, dan hina. Ampuni
kami, ya Asing....
"Marah,
marah, marah? Gak mau disebut lemah? Ya bersainglah. Begitulah semangat zaman
kini. Bersaing. Ya, bersaing. Hrmmm." Kata Adem Pribumi sambil menguatkan
kedua otot lengan dan merapatkan gerahamnya.
"Ya,
bersaing, bersainglah. Bersainglah. Pribumi nanam sepetak, mereka nanam
sehektar. Pribumi makai kail, mereka pakai jala. Pribumi pakai ontel, mereka
pakai truk. Pribumi pakai kios, mereka pakai mall. Pribumi bisanya jual ke
pasar, mereka nge-ekspor. Monggo, Adem Pribumi yang merasa hebat, bersaing
dengan posisi tak imbang itu. Hikhikhik. Oh nasib ya nasib.... Kenapa terjepit
begini nasib. Hikhik."
"Lha,
ini bicara Ribut Pribumi vs kapitalis apa sama Asing?" Tanya Adem Pribumi.
"Ya,
Asing ini sebenarnya tanpa sadar sudah identik dipersepsikan atau dilihat
sebagai kapitalis. Termasuk Arab sebenarnya. Arab itu pemodal juga, Asing juga
lho. Kapitalis. Sama kapitalisnya. Cuma kami gak takut sama Arab."
"Hmmm."
Adem Pribumi menyimak.
"Arab
ini beda. Kapitalisnya spesial. Kenapa tak ditakuti, dicemaskan, ketika
menginjakkan kaki ke mari, ke Bumi Pertiwi. Malah disenangi, dihormati-hormati,
dipuja-puji. Sekali lagi, Arab ini ada beda dengan Asingnya Belanda dkk
itu."
"Ya,
ya. Apa bedanya?"
"Pengalaman
sejarah yang membentuk persepsi bahwa Asing Arab berbeda dengan Asingnya
Belanda dkk. Pemodal Arab (sepertinya) memberdayakan pribumi. Kekuasaan, uang,
dan hasil dibagi dengan adil. Tidak dikeruk dan dimakan sendiri untuk
sekelompok pengusaha, penguasa, dan negaranya kek Asing Belanda dkk itu.
"Nah,
pengalaman sejarah itu, keyakinan, dan nilai dianut, membawa reputasi baik
untuk Arab. Ntah Arab sekarang masih punya reputasi begitu. Tak tahulah. Anggap
saja seperti romantisme masa dulu.
"Sekiranya
Asing Arab ini yang mesra dengan kami, maka kami kemungkinan gak ribut. Kami
percaya sama Asing (kapitalis) Arab. Ada keadilan, gak serakah-serakah amat
gitu-lah. Sosial dan humanisnya tinggi. Ada ramah-tamah. Ada cipika-cipikinya.
Angkuhnya sebenarnya juga ada. Tapi ah, angkuhnya itu bisa diabaikan. Mereka
tetap raja, pangeran, dan putri di mata kami.
"Itulah
membuat reputasi Arab tetap menawan bagi kami pribumi. Kebersamaan, nilai
keyakinan, dan sistem kemerataan dan keadilan bagi hasil dalam menggarap SDA
pribumi." Ribut Pribumi menerawang.
"Ahai.
Coba Asing satunya lagi itu, punya begini mental kek Arab, punya begini
pengalaman sejarahnya, dan reputasinya, maka tentuhhhh Ribut Pribumi gak
segejolak gini ya. Puk puk.
"Lha,
trus gimana ini. Kalau Asing ini tak dipercaya, sementara Arab ngasih modal ke
Indonesia cuma berapalah itu (maaf ya gak syukuri) dibandingkan ngasih ke RRC
yang jauh berkali-kali-kali-kali-kali lipat. Ngiri gak lu, merajuk gak, you gak
kecewa sama Arab. Ini negeri butuh modal buat gerak. Harusnya ditolong. Tapi
apa yang dilakukan Arab?"
Kriiiing.
Arab nelpon ke Adem Pribumi.
"Arab
nelpon," kata Adem ke Ribut Pribumi.
"Angkatlah,"
sahut Ribut Pribumi bete.
"Jangan
menghibah kalian," Arab di seberang bicara. "Kami tahu kalian lagi
jelekin Arab. Ada intel kami. Gak usah ngomongin kami. Urus tuh dirimu.
"Kalian
gak tahu ape-ape intrik dan kepentingan antarnegara. Kami bertindak bukan mikir
soal rakyat semata atau uang. Tapi keberlangsungan suatu negara. Kami gak mau
kejadian kayak Irak, Libya, dkk. Itu Trump jelas-jelas udah nabuh genderang
perang ama Islam. Maka karena itu, ane sohiban sama China. Mereka kagak ada
benci kek ditebarkan Trump. Udeh ngerti sampe sini napa mesra sama China? Kalo
udeh ngerti, lanjut kukasih tahu soal duit yang sikit kukasih ke negeri ente.
"Kalian
itu dikasih modal pun kagak punya tenaga kalian!"
"Apa?!"
teriak Ribut Pribumi. Dia mendengar.omongan Adem Pribumi sama Arab. "Eh,
Rab, jangan buta lu! Ada 250 juta ni di Indonesia. Buka mata. Tenaga banyak di
Indonesia, Coy!" Ribut Pribumi sambil bertangan metal.
"Lu
buka mata! Tenaga itu bukan otot aja ya pengertiannya. Otak, otak, skill, skil,
Mas Bro," si Arab tak mau kalah. Sengit.
Ribut
Pribumi makin tersinggung.
"Ah,
Arab songong. Lu kira kami pribumi bodoh-bodoh amat apa? Emang lu kira kami
suku Mante apa? Segitunya kau anggap tak berskill, tak berotak. Eh, denger ya,
Rab. Negeri kami ini berotak dan berskill. Liat kami bisa korupsi 5T!!! Emang
kalian bisa gitu?! Jangan remehkan kami, ya?! Kita putus! Kami gak mau naik
haji lagi ke negeri kalian!"
"Bodo.
Emang gue pikirin. Paling situ rugi. Trus berantem lagi pribumi sama pribumi,
pribumi sama Asing, pribumi sama pemerintah. Wek!"
Adem
Pribumi geleng-geleng. Pribumi terdiam. Merasa ada salah ngomong.
Ribut
Pribumi lalu menoleh kepada Adem Pribumi, minta sokongan.
"Gimana,
Ni. Arab benar-benar pergihhh. Gak bisa diandalkan," nelangsa Ribut
Pribumi.
"Sekarang
cuma Asing satunya lagi ini yang mau terlibat dengan Indonesia secara
besar-besaran. Asing ini yang Ribut Pribumi curigai karena punya reputasi dan
sejarah tak sedap. Tak bisa lagi mengandalkan Arab karena Arab udeh tak
percaya, padahal kami percaya. Semprul. Sementara Amerika, pribumi sudah tak
percaya. Sudah pribumi tinggalkan. Mengecewakan Amerika itu. Kapitalis serakah.
Kini Asing ini harapan ya?"
"Tapi
Asing ini, kapitalis juga lho. Ngakunya aja, gak. Beda dengan Amerika yang
ngaku dirinya kapitalis. Asing yang mau terlibat dengan Indonesia ini ngakunya
aja gak kapitalis padahal perbuatan kapitalis," kata Adem Pribumi.
"Nah
Adem Pribumi, bagaimana menaruh harapan dan kepercayaan pada Asing ini agar tak
ribut kami? Mereka punya modal, skill, dan mental baja! Paket klop buat
menggilas pribumi.
"Kepercayaan
masih sulit diberikan. Sulit. Rasanya memberikan kepercayaan pada mereka
seperti melepas iman di dada lalu menaruh iman pada Asing. 😱😱😱"
"Coba
dimengerti, Asing yang terlibat kerja sama kita ini tentu tak mau terlibat
kalau tak ada untung besar. Setuju? Gak level untung receh kan? Nah, yang
dikhawatirkan, terancam, tertindasnya ketika keuntungan besar yang dicari ini akan
mengorbankan pribumi, menelantarkan, tak diberdayakan, dipinggirkan, tak
dilibatkan. Asing ini lebih dicurigai mentingkan diri, pengusaha, perusahaan,
sekelompoknya, dan masa bodoh sama pribumi. Hukum dan watak kapitalis ya gitu,
yang ngasih modal besar ya untung besar. Hasil didepat sesuai usaha dan
kemampuan. Jangan harap lebih diluar kemampuan. Betul?"
"Tapi
ini negeri kami, bro. Mbok ya, kami dapat besar. Kami harusnya yang sejahtera.
Hasil dibagi adil. Rata. Gak timpang," sangkal Ribut Pribumi.
"Kalo
kalian dapat besar, minta adil, rata, bolehlah. Tapi mikir-mikir dulu itu.
Karena mereka juga punya kepentingan ekonomi, maklumlah mereka mikir
kepentingan mereka sendiri. Masak mereka mikir kepentingan pribumi. Itu bukan
tugas mereka. Itu tugas negara kita.
"Mereka
juga punya tugas mikir masyarakatnya sendiri. Jadi, negara kita bagian
memikirkan masyarakat sendiri. Jangan minta mereka harus mikirin juga rakyat
kita. Duh, jangan naif deh kalo mereka dituntut mikirin rakyat kita juga. Itu
tugas negara kita, Mas Bro. Mereka berbisnis, sesuai aturan dan mana
menguntungkan. Lu jangan naif ya. Maklum itu. Zaman kini muter karena ekonomi.
Kalo gak, ayam bisa mati di lumbung padi!"
"Gimana
maksudmu, 'ayam mati di lumbung padi?'" tanya Ribut Pribumi.
"Negeri
kita kaya, SDA melimpah. Tapi gak kegarap. Kenapa tau? Gregetan lho
negara-negara lain. Mau garap, tapi tak boleh. Pribumi garap sendiri, gak bisa.
Coba pikir, kenapa kenapa kenapa? Jangan salahin dan terancam sama Asing yang
mau garap itu.
"Asing
ada modal dan skill, mau garap itu. Banyak negeri Asing ada modal dan skill,
apa tak mau garap atau tak dibolehin? Coba situ pikir? Gak boleh garap atau tak
mau garap?
"Gak
tahu, urusan pemerintah." Sahut Ribut Pribumi pusing.
"Kita
ngaku aja deh gak bisa garap tanpa kerjasama. Gak bisa kalo gak ada modal,
skil, dan mental bersaing. Mereka punya itu kan. Bukan memuja, tapi bicara
fakta. Mereka ke mari cuma kepentingan ekonomi. Ojo mikir macem-macem sama
Asing ini. Apalagi mikir mau dijadiin komunis. Itu isu dihembus sama pesaing
mereka. Tahu gak sih Ribut Pribumi soal persaingan ekonomi dan kekuatan? Isu
komunis dihembus biar gak jadi garap punya lahan kita. Maunya pesaing itu yang
garap. Siapa pesaing itu? Mikir sendiri, deh.
"Gini
kukasih penenang. Kasian kuliat kamu, Ribut Pribumi. Jadi, kita kamu, minta
perkuat parlemen. Di sanalah masalah muaranya. Kalau kuat parlemen kita, bisa
kontrol, kawal, awasi kerjasama dengan Asing sesuai komitmen dan keuntungan
bersama.
"Ingat
ya Ribut Pribumi, keuntungan sesuai usaha dan kemampuan. Jangan minta lebih
kalo modal dengkul doang. Malulah sama dirimu. Ingat rezeki sudah diatur, beban
diberi sesuai kemampuan, so jangan cemas akut sama Asing. Itu menandakan diri
kita lemah banget. Slow aja gitu. Rangkul, sohiban gitu lho.
"Kekuatan
kita di parlemen, mengatur, mengawal, mengawasi, biar Asing ini gak melenceng
dari kerjasama yang telah dibuat. Tapi kalo parlemen kita tak berintegritas,
tak jujur, siap aja deh Asing pun bisa melawan dan beradaptasi menghadapi
situasi kecurangan itu. Asing ini punya pengalaman sejarah paling jago
beradaptasi dengan polah manusia dan alam.
"Tips
udah. Ceramah udah. Kamu, Ribut Pribumi, mau ribut, ributlah. Rugi kamu
sendiri. Si Asing paling rugi waktu. Duit gampang mereka cari lagi. Ada yang
modali. Arab. Heuheuheu."
Campur
aduk perasaan Ribut Pribumi. Geram, tak berdaya, terhina, perasaan lemah, dan
benci tapi berharap. Benci pun kini gak ke Asing tapi ke parlemen yang telah
menjadi area lahitnya tikus-tikus yang menggerogoti uang, kekuasaan, dan
kebijakan yang menyulitkan rakyat. Ribut Pribumi benci tapi masih berharap sama
parlemen. Benci tapi berharap. Harus benci ke mana lagi yang tepat?
Karena
pusingnya, dan gak sanggup lagi mikir, merasa Adem Pribumi penyebabnya, lalu
Ribut Pribumi pinjam kepala Adem Pribumi.
"Ah,
sinting! Giliran gue yang ribut, nih!" Umpat Adem Pribumi yang kini jadi
Ribut Pribumi. ***
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Namaku
Ribut Pribumi”
Kreator: Fazil Abdullah
Posting Komentar untuk "Namaku Ribut Pribumi"