Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen; Senja dan Ramadhan

 

Ilustrasi Senja dan Ramadhan (Doc. Istimewa)

Senja dan Ramadhan

Oleh: Penulis Senja


“Nasywa, kamu sudah selesai murajaahnya?” Tanya seseorang dari balik pintu.

“Allhamdulillah Umma, Nasywa baru saja selesai murajaahnya.” Ucapku sembari menggantung mukena putih yang kupakai.


Aku segera menghampiri Umma yang memanggilku tadi. Abi tengah menemui beberapa tamu yang singgah ke rumah kami.


Oh iya, perkenalkan aku Azzahra Nasywa Affifah. Panggil saja Nasywa. Langkahku terhenti di dapur di mana Umma berada. Harum jahe yang digeprek dan diseduh dengan air panas menusuk lembut rongga hidung.


“Subhanallah, wangi sekali wedang ini Umma. Untuk Abi dan tamu-tamu, nggih?”

“Benar sekali. Kamu antarkan ke ruang tamu ya. Umma akan melanjutkan membuat suguhan untuk tamu kita”

“Baik Umma.”

Aku lekas membenarkan hijabku. Dan membawa nampan menuju ruang tamu. Wangi jahe tadi meninggalkan harum di seisi rumah. Aku menunduk dan meletakkan wedang tadi satu  per satu dihadapan tamu.


“Terima kasih Nasywa. Bagaimana kabar Nasywa? Lama tidak berjumpa.”

“Allahmdulillah. Silahkan diminum Umma sendiri yang membuatnya.” Ucapku sembari tersenyum ramah menatap masing-masing tamu.


Aku kembali ke dapur dan lekas menuju teras rumah. Pohon bungur di depan rumah nampak gembira senja ini. Aku menikmati senja dengan duduk di kursi teras yang hampir mengelupas catnya. Senja kali ini berbeda. Dia akan datang dengan seorang bulan yang istimewa.


“Dia akan segera datang. Apa karena itu kamu senang?” Ucapku sembari menatap pohon bungur yang sejak tadi mengugurkan bunga-bungannya karena senang.

Tiba-tiba  saja seseorang mengagetkanku.

“Assalamualaiku, Nasywa.”

“Atagfirullah, waalaikumsalam. Kamu ini Ita, bisa atau tidak datang dengan lembut.”

“Maaf, habisnya sejak tadi aku memperhatikanmu menatap ke langit terus. Apa yang kamu tatap.” Ucapnya sembari duduk disebelaku.


“Menatap senja dan juga menunggu hilal.”

“Kamu menunggunya ya?

“Tentu saja, pohon bungurku juga menunggunya.” Ucapku sembari menoleh ke pohon bungur.

Kami bercengkama bersama sembari menatap langit sekali-kali. Aku ingin melihat hilal yang akan hadir hari ini.

Umma yang mengetahui kehadiran Ita, membawakan coklat panas dan sepiring pisang goreng untuk kami.

“Umma kenapa tadi tidak memanggil Nasywa saja? Nasywa bisa membantu membawakannya,” ucapku membantu Umma meletakkan gelas dan piring yang dibawa beliau.


“Tidak apa-apa. Kamu di sini saja bersama Ita. Katanya tadi menunggu hilal, kan?”

“Iya, Umma. Terima kasih banyak Umma.” Ucapku sembari tersenyum kepada Umma.

“Nah, Ita diminum dan dimakan ya. Basok kalau ke sini pagi atau siang tidak bisa makan ya. Karena besok sudah puasa.”


“Nggih, Umma. Terima kasih banyak.” Jawab Ita sembari tersenyum lebar.

“Umma masuk ke dalam dulu ya.” Umma lekas berjalan masuk ke dalam rumah.

“Nggih, Umma.” Jawabku bersamaan dengan Ita.

Waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Senja sudah mulai menepi. Sedikit demi sedikit meninggalkan semburat yang menawan. Bak lukisan seniman terkenal, terpapang megah menjambut sang hilal.


“Ita, kenapa hilalnya belum muncul ya?”

“Mungkin sebentar lagi.” Ucapnya sembari menyeruput coklat panas yang asapnya sendari tadi membumbung ke atas. Hingga…

“Ita. Ita.” Ucapku mengagetkan Ita hingga membuatnya tersedak.

Aku berdiri, lekas menjajalkan sandal di halaman rumah yang tertutupi daun pohon bungur itu. Senyum tersungging lebar di wajahku. Tak henti-hentinya terucap syukur dari mulutku. Ita yang kaget langsung meletakkan cangir yang dipegangnya dan menghampiriku.


“Ada apa kamu ini?”

“Itu lihat ke atas sana.”  Tunjukku ke langit.

“Subhanallah. Hilalnya sudah muncul, Nasywa.”

“Iya.” Ucapku sembari menatap Ita.

Kami saling bertatapan sejenak hingga kami bergandengan dan berputar di halaman rumah sambil mengucap syukur.


“Allhamdulillah. Besok sudah mulai puasa.” Ucapku.

“Sudah-sudah, kita bersiap untuk sholat tarawih nanti malam. Berangkat awal ya, supaya dapat shaf paling depan.” Ucapku kepada Ita sambil berjalan mengambil cangkir Ita.


“Siap, laksanakan. Tunggu aku nanti ya.” Tutur Ita.

Setelah itu dia berlari menuju rumahnya.

Aku tersenyum, sembari membawa masuk cangkir-cangkir yang telah kosong dan piring tadi.

Senja kali ini berbeda. Dia hadir bersama sang hilal. Penanda bahwa besok akan dimulainya puasa ramadhan.


Meskipun senja mulai menepi, namun goresan senja yang indah masih meghiasi lengit bersama hadirnya hilal. Sungguh, subhanallah senja kali ini.


Lantunan azan magrib mulai berkumandang. Kami lekas bersiap menuju masjid. Menyambut Ramadhan yang telah tiba.


ditulis oleh Penulis Senja

Posting Komentar untuk "Cerpen; Senja dan Ramadhan"