Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perbedaan adalah Rahmah (Islam, Nasionalisme dan Pancasila)

Biliksantri.comBerbeda adalah rahmah menjadi sikap inti dari bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya. Dalam suatu perbedaan manusia harusnya tau betul asal usul dirinya yaitu makhluk yang diciptakan untuk berbeda. Dalam agama Islam sendiri Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Hujarat ayat 13 menjelaskan tentang perbedaan yaitu:

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Q.S. Al-Hujurat:13

Wahyu itu memberi kepada kita bahwa dalam proses penciptaan manusia, Allah telah menjelaskan dalam keadaan dan kondisi yang berbeda-beda, bukan dalam satu jenis yang sama. Hakikat itulah yang menjadi suatu keniscayaan di muka bumi ini tentang perbedaan.

Hadratussyekh KH. Hasyim Asya'ari dalam pesannya yaitu:

"Ada dua kutub yang tidak berseberangan, Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan".

Pesan tersebut dapat kita lihat bagaimana dasar dari setiap rasa mencintai negara adalah rasa nasionalisme yang berjalan beriringan dengan agama. Dapat kita lihat bagaimana keragaman agama di bumi nusantara yang harus dimaknai sebagai suatu cara kita memiliki rasa nasionalisme yang kuat.

Kita sering mendengar di belahan bumi barat tentang kemajuan dan kebebasan namun ingat, harusnya mereka mendengar bagaimana Indonesia yang berbeda dengan memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010. Kita wajib berbangga sebagai masyarakat Timur yang memiliki kekayaan dan keragaman.

Hidup di bumi penuh rahmah adalah impian setiap manusia di Indonesia, memiliki perbedaan adalah bagian dari rahmah tersebut. Jika kita sadar betul bangsa ini adalah bangsa digdaya yang selama ini digempur oleh kekuatan kapitalis dan ideologi bebas. Perbedaan tidak harus memiliki rasa yang berbeda namun harusnya memiliki rasa yang sama.

Pribumisasi, Bukan Arabisasi

KH. Abdurahman Wahid dalam buku ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM KITA yang isinya sebagai berikut:

Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderungan semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal.

Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “Ahad” untuk menggantikan kata “Minggu” dan sebagainya. Seolah-olah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan berkurang karenanya.

Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal Arabisasi bukanlah Islamisasi.

Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah diungkapkapkan pada tahun 1980-an, yakni ketika ia mengungkapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar wahyu Allah dipahami dengan mempertimbangkan faktor–faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Se­hubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak hilang. 

Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh.

Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.

KH. Abdurahman Wahid mengajarkan kita bagaimana caranya mencintai Indonesia dengan pribumisasi yang artinya memupuk budaya kita sendiri. Arabisasi menjadi makna penting ketika mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam, namun itu bukan berarti budaya mereka datang mengisi keberagamaan. Kita patut bersyukur ketika Islam datang di bumi Indonesia, Islam datang dengan penuh ramah tamah. Islam diajarkan berkolaborasi dengan kultur dan budaya nusantara sehingga dapat diterima.

Pancasila Sebagai Dasar Negara

Para pendiri bangsa ini telah merumuskan dasar Negara Pancasila. Dasar Negara yang adil karena mencakup segala keberagaman dan keberagaman Bangsa Indonesia. Pancasila harusnya ideal sebagai dasar Negara yang digali dari kekayaan bangsa baik itu budaya dan keberagaman lainnya. Soekarno sebagai founding fathers menyebutnya dengan weitanschauung (pandangan hidup) bangsa.

Pancasila dari kompromis antara golongan nasionalis kebangsaan dan golongan Islam yang diposisikan sebagai kalimat as-sawa (titik temu) antara seluruh bangsa Indonesia. Dasar Negara ini memiliki makna penyatuan seluruh bangsa Indonesia.

Perbedaan dalam bangsa ini adalah rahmah yang tidak hanya menjadi dasar namun juga menjadi pedoman hidup. Pancasila sebagai landasan normatif. Pancasila adalah sarana menyatukan kemajemukan yang artinya memiliki fungsional dalam menyatukan beragam masyarakat dengan kultur dan budaya yang berbeda. Pancasila juga sebagai ikatan sosial yang berfungsi membangun persatuan dan kesatuan bangsa.

Pancasila dirancang dengan semangat dan cita-cita bersama mewujudkan kehidupan berbhineka tunggal ika. Melalui pancasila perbedaan menjadi rahmah untuk semua kalangan manusia. Jalan bagi bangsa memupuk rasa nasionalisme yang kokoh. Tali persaudaraan bangsa yang tidak akan pernah terputus. 

Pancasila menjadi ideology penangkal radikalisme dan bahkan ideologi yang secara kultur dan budaya berbenturan dengan bangsa Indonesia. Kita patut bersyukur anak-anak bangsa memiliki landasan monumental yang kuat dan berkarakter. Perbedaan bukan suatu musibah tapi rahmah yang harus selalu kita jaga kemurniannya.[]

*Penulis adalah Hamam Nasiruddin Ketua PAC IPNU Mayong Masa Khidmah 2021 - 2023, Pengikut GusDurian Asal Jepara Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ayubi, Muhammad dkk. Nasionalisme Religius. Kediri: Lirboyo Press, 2020.

Al-Ghazali, Imam. Mukhtasyar Ihya’ Ulumuddin Terj Zeid Husein Al-Hamid. Jakarta: Pustaka Amani Cet II, 2007.

Razzaq, Syekh Abdur. Ensiklopedia Asmaul Husna. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Penerbit Penebar Sunnah, 2016.

Wahid, Abdurrahmad. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institut, 2006.


Posting Komentar untuk "Perbedaan adalah Rahmah (Islam, Nasionalisme dan Pancasila)"