Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulo-ulo Manding: Tradisi Nikahan Anak Bungsu Guna Pererat Silaturahmi

ulo-ulo-nyandeng


Ulo-ulo Manding; Tradisi Nikahan Anak Bungsu Guna Pererat Silaturahmi

Nailis Sa’adah 2140110107


Masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di daerah pegunungan Muria  (Red: Jepara, Kudus dan sekitarnya) saat ini masih memegang teguh adat istiadat dan budayanya. Diantaranya tradisi wiwitan, sedekah bumi, buka luwur, tedhak siten, Ulo-ulo Manding/Pakponjen, Tingkeban, Siraman dan masih banyak lagi. 


Tentu kita tak membahas semuanya disini. Penulis hanya mengulas sekilas tentang tradisi Ulo-ulo Manding/Pakponjen. Tradisi ini merupakan salah satu rangkaian dalam prosesi pernikahan adat Jawa bagi anak bungsu/Ragil/anak terakhir, atau bisa jadi anak yang terakhir menikah walaupun dia bukan anak terakhir (pungkasane mantu utowo dugawe).

ulo-ulo-nyandeng



Hal ini memiliki makna bahwa orang tua sudah selesai melaksanakan tanggung jawab dalam merawat anak-anak dan mengantarkannya sampai pernikahan. Tradisi ini juga sebagai simbol dari rasa syukur orang tua.


Pengertian


Kata Ulo-ulo Manding sendiri berasal dari bahasa Arab aula-aula manda yang artinya awal mana dan dulu mana. Ada juga yang menyebut dari asal kata alaa-alaa yang berarti ingat-ingat. Masyarakat Jawa populer dengan nama PakPonjen yang artinya beruntung. Meski ada beberapa versi yang berbeda dalam penyebutannya pada suatu daerah dan daerah lain, hal ini tidak mengurangi nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam tradisi ini.


Tata Cara Pelaksanaan


Tradisi ini diawali dengan pengantin beserta saudara-saudaranya yang diberikan kantong yang diisi sangu/modal dari orang tuanya untuk berumah tangga kedepannya secara berurutan. selanjutnya kakak tertua memimpin adik-adiknya yang saling memegang ujung belakang baju saudaranya. 


Dipandu oleh pemuka adat yang membawa pecut laksana seorang kusir yang mengendalikan kudanya. 

Selanjutnya, mereka berjalan berputar mengitari gentong yang berisi air kembang, yang ditutup dengan Tampah selama 3 kali putaran sembari diiringi sholawat Nabi pada setiap putarannya agar senantiasa mendapat keberkahan dan kebahagiaan. 


Pada putaran terakhir, gentong yang berisi air kembang tersebut ditendang sampai pecah dan tumpah semua isinya. Dilanjutkan pemuka agama menyebar beras kuning yang sudah dicampur dengan uang koin kepada para tamu yang hadir untuk diperebutkan. Karena konon katanya uang dari acara ini dianggap berkah bahkan ada juga yang menganggapnya sebagai  jimat agar uangnya tak pernah habis. 


Ada hal unik yang penulis temukan pada saat perebutan uang recehan ini, yaitu semua kalangan ikut serta memperebutkan. Dimulai dari anak-anak hingga orang tua, meski hanya uang koin seribuan atau lima ratusan.


Dalam pelaksanaannya, ulo-ulo manding memiliki versi yang berbeda dari setiap daerah setelah penulis melakukan sesi wawancara kepada pelaku budaya. misalnya penulis menemukan di daerah Welahan, Pada gentong yang ditutup dengan tampah diatasnya terdapat jajan pasar sebagai syarat dalam pelaksanaannya. 

Hal berbeda justru penulis temukan di daerah Mayong ke utara, kantong yang diisi sangu/modal diberikan oleh Pakdhe, Budhe, Pak lek, Bu lek atau saudara yang lain. 


Walaupun berbeda dari beberapa daerah, baik pelaksanan bahkan nama dan penyebutannya, tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya ini. yaitu guna mempererat tali silaturahmi agar senantiasa Adem Ayem Tentrem antar saudara dan handai taulan.


Ulo-ulo Manding dilihat dari Perspektif Psikologi


Sejalan dengan Teori McClelland (1961) yaitu kebutuhan akan afiliasi (need of affiliation) bahwa manusia memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjalin hubungan persahabatan/persaudaraan yang kuat dan kooperatif guna memperoleh hubungan sosial yang baik. Selain teori dari McClelland, tujuan dari ulo-ulo manding juga sejalan dengan teori Hierarki dari Abraham Maslow, kebutuhan dasar manusia akan rasa memiliki, yakni meliputi dorongan untuk dibutuhkan orang lain agar diterima sebagai warga komunitas sosialnya. Sebagai kebutuhan dasar manusia ingin dihargai, yang meliputi penghargaan terhadap diri sendiri dan juga orang lain.


Artinya pada tradisi ulo-ulo manding ini, akan semakin mempererat hubungan persaudaraan dan kerukunan antar keluarga karena hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tak pernah lepas dari tolong menolong antar sesama.

Posting Komentar untuk "Ulo-ulo Manding: Tradisi Nikahan Anak Bungsu Guna Pererat Silaturahmi"