Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Romadlona atau Romadloni, Mana yang Benar?

romadlona-romadloni-mana-yang-benar


Biliksantri.com - Niat menjadi rukun yang mesti dilakukan dalam puasa Ramadhan. Imam Syafi’I sendiri berpendapat bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khathara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. 

Banyak orang islam yang ketika melafadzkan niat menggunakan redaksi teks:

   نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى. 

Ada yang mengatakan Romadlona dan Romadloni.

Hal ini menjadi perbedaan antara para ulama’. Perbedaan terutama ada pada bagian harakat kata رمضان; apakah ia dibaca ramadlâna (fathah) atau ramadlâni (kasroh). 

Sebagian masyarakat membaca lafal niat di malam hari seperti ini:   

(fathah). نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى  

Menurut kaidah ilmu nahwu, redaksi tersebut keliru. Jika memaksa memilih membaca ramadlâna (dengan harakat fathah), maka pilihan yang paling mungkin kalimat selanjutnya adalah hâdzihis sanata ( السَّنَةِ ) (sebagai dharaf zaman/keterangan waktu), bukan hâdzihis sanati. 

Ramadlâna dibaca fathah sebagai ‘alamat jar karena termasuk isim ghairu munsharif yang ditandai dengan tambahan alif dan nun sebagai illatnya.

Artinya, boleh membaca ramadlâna dengan syarat kalimat selanjutnya hâdzihis sanata.

Namun, yang seperti ini jarang diungkapkan dalam kitab-kitab fiqih. Yang paling lazim adalah membacanya dengan harakat kasrah, ramadlâni, yakni dengan meng-idhafah-kan (menggabungkan) dengan kata sesudahnya.

Konsekuensinya, ia tidak lagi ghairu munsharif. Hal ini sesuai dengan ungkapan Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî alias Ibnu Malik dalam nadham Alfiyah:

   وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤  مَا لَمْ يُضَفْ اَوْ يَكُ بَعْدَ اَلْ رَدِفْ 

“Tandailah jar isim ghairu munsharif dengan fathah, selagi tak di-idhafah-kan (digabung dengan kata setelahnya) atau tidak menempel setelah ‘al’.”

Jika ramadlâni diposisikan sebagai mudhaf (di samping sekaligus jadi mudhaf ilaih-nya "syahri") maka hadzihis sanati mesti berposisi sebagai mudhaf ilaih dan harus dibaca kasrah. Pembacaan dengan model mudhaf-mudhaf ilaih inilah yang paling dianjurkan.

Sehingga bacaan yang tepat dan sempurna adalah:

   نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى 

“Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta'ala.” 

Yang perlu diingat, kekeliruan dalam melafalkan niat tak berpengaruh pada keabsahan puasa, selama terbesit dalam hati untuk berpuasa karena tempat atau pelaksanaan niat ada dalam hati.

Seperti dikatakan, niat berhubungan dengan getaran batin. Sehingga ucapan lisan hanya bersifat sekunder belaka. Tapi kekeliruan akan menimbulkan rasa janggal, terutama di mata para ahli gramatika Arab. 


(Mus/Lim)

Posting Komentar untuk " Romadlona atau Romadloni, Mana yang Benar?"