Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Self Harm, Sebuah Pesan Tersembunyi untuk Orang Tua

Doc : Mitra Keluarga


Biliksantri.com - “Kenapa tangannya ? Kok, dibungkus pakai perban seperti itu ?” kataku kepada seorang siswi yang kebetulan lewat di depanku. Segera dia menutup perban itu menggunakan jaket yang dibawa di atas pundaknya.


“Biasa, Bu,” jawabnya. 


“Maksudnya biasa?” tanyaku menatap matanya. Lalu sejenak kami bertatapan. Berbicara dalam diam, dan sedetik berikutnya aku mengerti, kalau dia melakukan cutting.


Peristiwa seperti ini tidak terjadi sekali dua kali saja. Beberapa kali, aku menemukan tangan anak-anak yang terluka oleh goresan yang disengaja, entah menggunakan silet atau pensil yang sudah diraut.


Pernah di suatu malam yang larut, ketika saya akan beranjak tidur, ponsel saya berdering, dan di sebelah sana terdengar suara merintih,”Ibu, saya sudah siapkan cutter. Tolong, hentikan saya,”


“Mama dimana ?”


“Ada, Bu. Lagi nonton.”


Tentu saja saya kaget, berusaha tenang. Lalu mengajak dia berbicara hal-hal yang ringan, seperti hari ini kamu melakukan apa saja, dapat nilai berapa ulangan kemarin, dan setelah berbagai macam hal sampai kepada pertanyaan alasan ingin melakukan cutting.


Kejadian-kejadian seperti ini tentu saja membuat saya bingung dan bertanya-tanya, mengapa anak-anak remaja ini melakukan dengan mudah tindakan yang menurut saya tidak seharusnya dilakukan.


Apakah dia tidak merasa sakit ? Bagaimana rasanya melihat silet atau pensil yang runcing seperti itu disiapkan dengan sengaja ? Apa penyebabnya ? Mengapa harus melakukan itu ? Apakah orangtuanya tahu? 


Baru-baru ini, dari mereka (anak-anak) itulah kemudian saya tahu kalau tindakan seperti itu disebut cutting. Dan setelah saya searching di google, saya juga tahu kalau tindakan itu adalah salah satu cara yang dilakukan untuk self harm atau  self injury.


Self harm/self injury adalah salah satu yang dilakukan oleh seseorang untuk “menemukan” perasaan yang “tidak diijinkan” oleh para orangtua, atau untuk menemukan bahwa dirinya sungguh nyata. 


Dalam beberapa pembicaraan, saya berusaha mengetahui alasan anak-anak itu melakukan tindakan menyakiti diri. Beberapa kali saya bertanya, kalau ada masalah, mengapa tidak menceritakan saja kepada orangtua atau kepada orang dewasa lainnya.


Orang-orang dewasa di sekitarnya yang mungkin akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atau bisa membantu meringankan beban yang ada di hati atau pikirannya.


“Kalau ngasih tahu ke orang tua mah, gak bakal didengar, Ibu.”


“Kan, gak boleh nangis. Nanti dibilang, masalah begitu saja, lebay kamu.’


“Udah, gede. Jangan cengeng.”


“Capek, Bu. Orang tua gak bakal mau mendengarkan cerita kita. Lebay katanya lebay.”


Beberapa kali saya membicarakan kondisi seperti itu kepada teman-teman, tapi sepertinya pokok bahasan mengenai cutting ini, bukanlah hal yang nyaman dibicarakan. Orang-orang cenderung menghindari atau mengganti topik pembicaraan.


Kebiasaan para orang tua yang tidak mengizinkan anaknya menunjukkan perasaan dengan cara terlalu menjaga sejak dari kecil, seperti angan sampai anak menangis dengan segera menggendong, misalnya atau  jangan sampai anak marah dengan cara segera memberi bantuan jika anak-anak menghadapi masalah, sering sekali membuat anak-anak tidak tahu “cara merasakan” emosi-emosi yang mucul dalam dirinya. 


Atau sebaliknya, meremehkan perasaan-perasaan ketika mereka mencoba memberitahukan dengan kalimat-kalimat, apaan sih? Jangan lebay, ah. Sudah, nanti juga akan begini atau begitu membuat anak-anak ini lebih suka menutup diri dari orangtua atau orang-orang dewasa di sekitarnya.


Sering terjadi, self harm menjadi kegiatan yang dilakukan berulangkali karena si pelaku merasa ketika dia melihat darah atau merasakan sakit, dia menemukan kelegaan. Kelegaan yang dirasakan ini yang kemudian membuat di pelaku akan mencoba lagi jika suatu saat dia berada dalam kondisi dimana dia merasa sendirian dan butuh menyadari kalau dia sungguh ada, yang dia rasakan sungguhnyata.


Hubungan-hubungan menjadi penentu si anak mampu melakukan self harm, dan jangan salah, kegiatan-kegiatan ini tidak saja dilakukan di rumah. Tapi bisa juga dilakukan di toilet sekolah, di sudut-sudut kelas ketika tidak ada orang lain. Yang mengerikan adalah self harm atau lebih spesifiknya cutting, seolah menjadi trend bagi sebagian anak remaja perkotaan.


Pesan yang disampaikan kepada pembaca: Orang tua/orang dewasa lebih membuka diri/hati kepada anak-anak di sekitarnya


(Rismawati/Lim)

Posting Komentar untuk "Self Harm, Sebuah Pesan Tersembunyi untuk Orang Tua"