Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memaknai Penderitaan

 


Biliksantri.com - Saya kembali menjadi saksi sejarah bagaimana sebuah kekuatan penderitaan bekerja dengan sangat menakjubkan.

Kadang kita mengira penderitaan seperti makhluk yang berjalan seorang diri tanpa tujuan dan alamat yang jelas, lalu tiba-tiba dia berhenti persis dihadapan kita, atau berhenti persis di alamat rumah kita.

Kita marah, kesal dan pitam; dengan nada sombong kita berteriak “ada banyak orang disini, tapi kenapa kau malah berhenti dihadapanku, seolah-olah engkau sengaja memilihku“, hardik kita pada penderitaan, namun ia tetap membisu tak bergeming. 

Kalau kita mau jujur dan berkaca, sesungguhnya kita lah yang tanpa sadar telah ‘mengundangnya’. Mungkin lewat doa, keinginan atau mungkin perilaku kita.

Bukankah mereka yang ingin menjadi orang yang sabar harus diuji dulu dengan peristiwa yang bisa membuktikan kesabarannya, dan seterusnya dan seterusnya.

Dan ini butuh penjelasannya sendiri. Tapi lupakan soal ini, soal bagaimana penderitaan menemukan alamat diri kita dengan pasti. 

Karena ia telah hadir dihadapan kita. Dan akhirnya ke Aku-an itu lumer. Dan saya menyaksikan bagaimana si A jatuh bangun memeluk penderitaannya, matanya sembab, ia jatuh tersungkur, terhuyung-huyung, babak belur dalam dekap penderitaan.

Saya menyaksikannya, air matanya tumpah dalam sujud-sujud panjang malamnya diatas sajadah yang dulu mungkin tak pernah ia lakoni.

Dan tangisannya pecah, ia jalani hari-hari yang panjang dengan air mata tumpah tak terbendung, kadang mengering karena setiap pori tubuhnya turut pula menumpahkan air mata.

Aku mendekapnya dalam kasih sayang, semua orang menguatkannya. Tapi apa yang bisa dilakukan orang-orang. Karena setiap orang mengandung benih penderitaannya sendiri-sendiri. Yang mendekap tak kalah lemahnya dari yang ia dekap. 

Tuhan. Ya Tuhan lah tempat bersandar yang paling tepat. Hari-hari kemudian ia lalui dalam puasa panjang kesabaran dan berserah diri, suaranya terdengar lirih mengaji, doanya khusuk, senin-kamisnya terjaga, mukanya tak menyimpan keangkuhan, ia pasrah berserah diri.

Tuhan tampaknya semakin mencintainya, dengan terus menjaga penderitaan ini berlama-lama dengannya. Namun walaupun begitu kini ia tak lagi bercerita tentang penderitaan. Ia mulai tersenyum. Dan senyumnya mengisyaratkan “dukaku besar tapi Tuhanku Maha Besar”. 

Dan Tuhan semakin mencintainya. Hari ini Tuhan mengundangnya hadir ke rumah-Nya di Baitullah Makkah. Untuk menumpahkan langsung “ tangisan hatinya” di rumah-Nya.

Tuhan menanggung semua ongkosnya dengan menitipkan rezekinya kepada seorang dermawan yang menanggung semua biayanya. Dan aku tak mampu menahan rembesan air mataku ketika menuliskan cerita ini.

Saat kita membaca tulisan ini mungkin ia tengah bersujud dihadapan Tuhan dengan doa-doa syukurnya, penderitaan dan duka deritanya dulu... yang mungkin, sudah ia lupakan, hanya sekedar wasilah antara ia dan TuhanNya. Semoga ia dan sang dermawan diberkati dan dimuliakan Tuhan.

Penderitaan kadang bekerja dengan sangat menakjubkan. Tergantung bagaimana kita meresponnya.


Ardimus/Lim

Posting Komentar untuk "Memaknai Penderitaan"