Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menanggapi Gagasan ‘Perempuan Tidak Harus Bisa Masak’

 

(Sumber : Istimewa)

Biliksantri.com _ Perdebatan mengenai pendapat 'perempuan harus bisa masak' rupanya masih seperti matahari, selalu terbit-tenggelam. Kubu A setuju dengan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa kodrat perempuan tuh, ya, memang di dapur, memasak. Toh, nantinya perempuan akan menjadi Ibu Rumah Tangga yang diharuskan memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik. Sementara kubu B tidak setuju dengan pendapat tersebut karena menyadari bahwa 'memasak' sebetulnya bukan kodrat perempuan. Dalam KBBI disebutkan bahwa pengertian kodrat adalah hal-hal yang melekat pada seseorang sejak lahir, bukan yang dilekatkan orang lain. Jadi kodrat perempuan sebenarnya, ya, menstruasi, hamil, melahirkan. Lagipula, sekarang ini banyak juga perempuan yang turut mencari nafkah untuk menyokong ekonomi keluarga. Jika perempuan diwajibkan harus bisa masak juga, kok, rasanya tuntutan sebagai perempuan jadi berlapis-lapis sekali? Ya, kurang lebih begitu.

Terus yang bener yang mana, sih? Perempuan harus bisa masak apa nggak? Berdasarkan opini saya, sih, kubu A dan kubu B tidak ada yang salah. Mau pro atau kontra, ya wis, monggo. Tapi kalau ditanya saya lebih condong kemana, saya lebih setuju dengan pendapat bahwa 'perempuan harus bisa masak'. Tentu saya tahu bahwa memasak bukan kodrat perempuan, tapi ada beberapa alasan yang mendasari alasan mengapa saya setuju dengan pendapat tersebut.

Dapur dan Stereotipnya

Berdasarkan pengamatan saya, pasca adanya silang sengkarut gagasan 'perempuan harus bisa masak', agaknya gagasan 'perempuan tidak harus bisa masak' lebih banyak disukai kaum perempuan, utamanya perempuan yang sudah memiliki orientasi untuk berkarier setelah menikah. Tapi lama-lama saya merasa banyak orang mulai menyalahgunakan pendapat ini untuk menormalisasi ketidakmampuan dalam memasak (in negative way). Contohnya seperti yang saya alami pada Bulan Ramadhan lalu. Suatu sore salah seorang teman mengajak saya berbuka bersama, tapi saya menolak ajakan tersebut karena punya tanggungjawab memasak menu buka puasa di rumah. Dan memang benar, kok, Ayah dan Ibu saya sama-sama bekerja, jadi sebagai anak semata wayang yang mulai beranjak dewasa, tentu, dong, saya punya kewajiban meringankan pekerjaan di rumah? Tapi teman saya—sebut saja Ipeh—merespon kurang lebih seperti ini,

"Dih, emang bisa masak?" tanyanya dengan tatapan penuh selidik dan rasa tidak percaya. "Masa, sih?"

Saya yang keheranan akhirnya balik tanya, "Lha, memangnya kamu nggak bisa masak?"

"Nggak. Bedanya jahe, kunyit, kunci, sama kencur aja nggak tau," jawabnya setengah tertawa. "Emangnya perempuan harus bisa masak? Kan, enggak."

Bayangkan, Ipeh mengatakan hal tersebut dengan bangga. Ini, nih, maksud saya. Sebetulnya saya tidak masalah dengan teman saya yang belum bisa memasak, atau belum berkesempatan untuk belajar memasak. Tapi kenapa respon yang ditunjukkan justru terkesan bangga dengan hal tersebut? Kenapa merasa bangga karena jauh dari bumbu dan dapur? Kesan yang seperti ini tidak hanya saya temukan di Ipeh saja, lho, saya pernah mendapati kesan yang sama pada beberapa teman yang lain juga. Oleh sebab itulah saya menulis opini ini.

Saya sempat berpikir, jangan-jangan beberapa orang punya stereotip kurang baik soal dapur? Kalian pasti sudah familiar dengan kalimat, "Perempuan tidak usah belajar tinggi-tinggi, toh, ujung-ujungnya bakal ngurus dapur juga." Kata dapur di sini terkesan kontras dengan kata belajar tinggi, sehingga—barangkali muncul anggapan bahwa dapur  bukan tempat buat orang yang sudah belajar tinggi. Atau kalimat seperti, "Kamu harusnya bangga bisa sekolah seperti ini, perempuan-perempuan jaman dulu cuma bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dapur." Pasti pernah dengar juga, kan? Kata dapur di sini dikaitkan dengan posisi perempuan jaman dulu yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Karena adanya kedua kalimat tersebut, bisa jadi dapur punya konotasi yang kurang baik bagi sebagian orang hingga saat ini.

Miskonsepsi Gagasan 'Perempuan Tidak Harus Bisa Masak'

Beberapa waktu lalu saya tidak sengaja membaca Opini milik Arnie Perwita Sari berjudul ‘Perempuan Idaman Tidak Melulu Soal Pintar Memasak’ yang dimuat Sediksi pada tahun 2021 lalu. Dalam opininya itu Arnie menyatakan bahwa hubungan perempuan dengan dapur sudah terkonstruksi mapan di tengah masyarakat. Kemudian Arnie mempertanyakan, "Maka bagaimana nasib kami, sebenarnya saya sih, yang boro-boro masak, ngupas bawang motong cabe saja bikin harap-harap cemas? Sudah kayak nunggu Bandung Bandawasa menyelesaikan pembangunan seribu candi."

Jujur saya agak tergelitik membaca redaksi tersebut. Menurut saya di sini Arnie menunjukkan sikap defensif atas ketidakmampuannya dalam ngupas bawang dan motong cabe dengan menjadikan gagasan Perempuan Idaman Tidak Melulu Soal Pintar Memasak sebagai dalih.

Begini, saya tahu tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk bisa belajar memasak karena beberapa sebab. Namun tetap saja menurut saya, sebelum mengadopsi idealisme 'perempuan tidak harus bisa masak' dalam kehidupan, ada baiknya memahami konsepsi serta relevansinya dalam kehidupan sehari-hari dulu, tidak asal ditelan mentah-mentah dan malah jadi menanamkan pemikiran bahwa 'perempuan sama sekali nggak punya kewajiban untuk bisa masak.' Ujung-ujungnya, belajar memasak jadi hal yang dianggap tidak penting-penting amat. Perempuan jadi asing dengan bumbu-bumbu dapur dan merasa tidak perlu mempelajarinya. Padahal selagi ada kesempatan dan waktu untuk belajar memasak, mengapa tidak? Mengapa justru menjadikan gagasan 'perempuan tidak harus bisa masak' sebagai tameng untuk membenarkan ketidakmampuan itu? Mengapa justru bersikap defensif ketika ada yang mengatakan soal pentingnya kemampuan memasak? Ini yang saya maksud sebagai miskonsepsi gagasan. Gimana kalau akhirnya gagasan ini ditelan mentah-mentah dan dinormalisasi perempuan secara luas?

Sejak duduk di bangku SMA, Ibu saya mulai memperkenalkan bumbu-bumbu dapur pada saya. Mulanya saya cuma disuruh mengamati, kemudian diberi tugas-tugas ringan seperti memarut kelapa, menggoreng tempe, ngulek sambel, bikin bawang goreng, ya, pokoknya yang ringan-ringan. Selanjutnya ketika libur sekolah, beliau mulai memberi saya tanggungjawab penuh untuk mengambil alih urusan dapur. Awalnya saya merasa keberatan, tentu saja. Tidak jarang masakan yang saya bikin galtot alias gagal total, dan jelas hal tersebut membuat saya malas menginjakkan kaki di dapur lagi. Tapi Ibu saya sering berkata, "Kalau masakannya gagal berarti harus dicari tahu step mana yang salah. Harus dicoba terus sampai berhasil, bukan malah berhenti belajar." Begitulah, akhirnya mau tidak mau, saya belajar memasak lagi sampai berhasil. Sejak saat itu saya semakin terbiasa memasak.

Bayangkan jika Ibu saya tidak bisa memasak sama sekali? Dari mana saya—sebagai anak—belajar memasak? Dari mana saya tahu bahwa belajar memasak memang penting sebagai bekal untuk menapaki kehidupan? Itu salah satu alasan mengapa perempuan kudu bisa masak, karena perempuan akan menjadi Ibu, dan Ibu adalah sekolah pertama buat anak-anaknya. Kalau di antara kalian ada yang memilih childfree, jelas itu hal lain lagi! Yang jelas di sini saya sebagai anak merasa beruntung memiliki Ibu yang bisa masak dan bisa ngajari saya masak.

Saya paham, konstruksi publik yang menyematkan ‘kemampuan memasak’ sebagai kodrat perempuan justru membuat banyak perempuan merasa keberatan untuk belajar memasak. Tapi para perempuan musti menyadari bahwa sebetulnya belajar memasak tuh, ya, belajar buat diri sendiri, yang akan merasakan dampaknya pun diri sendiri. Kalaupun nantinya oranglain merasakan manfaat dari kemampuan yang kita miliki, justru semakin baik, dong. Artinya apa yang kita pelajari terbukti bermanfaat buat diri sendiri dan oranglain. Dengan motivasi seperti itu, belajar memasak barangkali akan terasa lebih menyenangkan.

Memasak Bukan Soal Gender?

Jika dibanding zaman dulu, sekarang ini perempuan punya privilege lebih untuk hadir di ruang-ruang publik. Sudah banyak perempuan yang memiliki banyak pencapaian, punya gelar dan karier yang bagus, bahkan menjadi pembicara di event-event besar. Hal ini identik dengan istilah independent woman. Bagi saya, perempuan yang bisa memanage urusan rumah—termasuk urusan dapur—juga pantas disebut independent woman, kok!

Membekali diri dengan kemampuan memasak membuat saya merasa berkembang. Saat ini saya belum menikah. Saya masih duduk di bangku kuliah semester akhir, tapi membayangkan keluarga kecil saya kelak tersenyum hangat karena memakan masakan saya, kok, rasanya menyenangkan. Apalagi jika nantinya anak-anak atau suami saya ingin selalu makan di rumah karena ketagihan dengan masakan yang saya buat. Manis sekali. Hal ini membuat saya semakin menyadari bahwa kemampuan memasak yang saya miliki tidak hanya berguna untuk saat ini saja, tapi akan terus berguna sampai saya tua nanti. Dan bukan hanya bermanfaat buat saya sendiri, tapi juga orang-orang yang saya sayangi. Selain bisa menyajikan makanan sesuai selera, saya juga bisa memastikan kehigienisan dari makanan yang saya buat, sehingga kesehatannya lebih terjamin. Itulah alasan mengapa menurut saya penting sekali membekali diri dengan kemampuan memasak.

Jadi apakah perempuan harus bisa masak? Realistis saja. Iya, harus bisa masak. Bahkan sekarang mulai banyak, lho, yang menyerukan bahwa tidak hanya perempuan yang harus jago masak, tapi laki-laki juga. Ini lebih masuk lagi, saya setuju dengan pendapat ini. Memasak memang basic life skill yang harus dimiliki semua orang, kan, ya, sebetulnya? Jadi, siapa, nih, yang masih mau stuck dengan pemikiran bahwa 'perempuan tidak harus bisa masak?'










Ditulis oleh Kadhumatul Hilma

Mahasiswi Universitas Nahdlatul Ulama Jepara

Posting Komentar untuk "Menanggapi Gagasan ‘Perempuan Tidak Harus Bisa Masak’"