Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Banjir Bukanlah Bencana, Namun Sebuah Pembelajaran

Kondisi Banjir di Kabupaten Semarang (Dok : TribunJateng)

Biliksantri.com_Akhir-akhir ini daerah Ambarawa, Salatiga, Kabupaten Semarang mengalami hujan deras, dimana air tersebut mengalir ke sungai tuntang. Sesuai hukum gravitasi dan sifat air, air akan mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Mencari cekungan, dan terus ke daerah bawah. Air tersebut adalah air yang sama dengan yang menyebabkan banjir di Gubug, Demak, Godong, dan berbagai wilayah di sekotarnya. Sifat air tadi ialah sifat yang dilekatkan oleh tuhan (AllahSWT) pada makhluknya.

Ketika banjir terjadi banyak orang sibuk mengumpulkan bantuan dan menyalurkannya. Bahkan setela bencana tersebut usai, warga terdampak masih saja menerima bantuan. Apakah ini bukan sesuatu yang baik membantu orang yang kesusahan? Ohh tentu. Tapi sayangnya, banyak orang lupa mempertanyakan mengapa bencana ini terus terjadi, terulang, bahkan meluas areanya.

Ironinya, saat musim kemarau, wilayah Grobogan yang tadi banjir, malah terjadi kekeringan, kebakaran, dan bencana iklim lainnya yang sebenarnya bisa dicegah, diusahakan, dimitigasi.

Dua kondisi yang sama sama susah. Istilah jawanya, “mongso Udan ra iso ndodok. Ketigo ra iso cewok” apabila diartikan saat musim penghujan kita tidak bisa jongkok untuk buang air besar, karena air di mana mana. Dan saat kemarau kita tidak bisa cebok, karena tidak ada air alias kekeringan.

Jangankan air untuk cebok. Air untuk minum, mandi dan masak juga tidak ada. Alias harus beli tiap tangki.

Dua keadaan tadi terjadi lebih sering dan lebih luas tiap tahunnya. Bahkan akademisi sudah memprediksi bahwa tahun 2040 nanti pulau jawa akan kekurangan dan kesulitan air bersih. Mereka meramal dengan data pendukung. Bukan seperti ahli nujum, Ahli syihir.

Air merupakan kebutuhan dasar manusia. Tanpa air, manusia hanya bisa bertahan dalam 3 hari. Tanpa makanan manusia masih bisa hidup lebih lama, mingguan, bulanan. Tapi jika air yang ada adalah air kotor. Apakah manusia bisa pakai? Apakah manusia bisa minum? Jika ini adalah kebutuhan dasar manusia, sudah sepatutnya negara hadir dalam setiap proses siklus air. Jika sumbernya dirusak. Jika sungainya tercemar, jalan air. Jika pantai dan lautnya penuh plastik. Jika lahan resapannya tertutupi beton dan bangunan.

Tapi berulangkali kita patah hati jika mengandalkan negara menjaga hak-hak mu. Memenuhi kebutuhanmu. Ketimpangan dalam akses air bersih adalah ketidakadilan yang selama ini terjadi. Bahkan komflik atas akses sumberdaya air banyak terjadi di sekeliling kita. Nyawa taruhannya. Tidak minum anda mati. Kalah perang anda juga mati. Tentu orang dengan kekuatan politik yang selalu menang.

Pada saat menulis ini, hujan deras sedang turun di desa kami, Cingkrong. Desa yang saya tempati sejak akhir tahun 2021. Desa ini kebanjiran lagi Januari lalu. 2000 an warga terdampak , termasuk rumah kecil saya. Tiap tahun banjir, bahkan pernah dalam jarak waktu seminggu 2 kali banjir. Datang lagi, padahal kami sudah bersih bersih rumah. Tidak nyana ini akan terjadi. Hal itu juga terjadi di desa Baturagung, Gubug.

Jika kamu mendekat dan menemani korban banjir. Kamu akan mendengarkan mereka dari dekat. Akan banyak kisah pilu yang dicerikakan. Hal itu pasti.

(kerentanan) Bencana yang tiap tahun terjadi dan meluas merupakan sebuah tanda bahwa lahan sudah kritis, daya dukung lingkungan tidak mampu menyokong apa yang terjadi. Sedangkan (kapasitas) kesiapan kita selalu keteteran karena kita tidak tepat dalam memperkirakan seberapa besar bencana yang terjadi. Seringkali lebih besar dan menyebar titik lokasinya. Ancaman bencana terus ada dan merugikan.

Lalu apakah kita harus pasrah begitu saja dan menyalahkan curah hujan yang turun? Setiap tetes hujan ini ialah atas kehendak Allah SWT. Air tidak turun untuk merugikan. Air turun membawa berkah. Hujan ini pernah juga kau rindukan. Kau rapalkan dalam setiap doamu selepas Sembahyang.

Kemudian mahkluk Allah ini kau (pejabat) salahkan?

Kita hanya dibohongi oleh pejabat yang tidak becus bekerja. Tidak mampu berpikir menyelesaikan masalah. Sama ketika pemerintah membangun jalan tapi sering kali cepat rusak. Padahal karena dikorupsi. Tapi menyalahkan kondisi jenis tanah lempung yang lembek, dan konturnya. ketika seseorang kuliah Teknik sipil pasti dibekali ilmu untuk menyelesaikan masalah. Bukan ilmu menyalahkan kondisi yang tuhan telah berikan.

Ada bukti jalan purwodadi di jalan gajah mada awet dan tahan lama meski 20 tahun sudah terbangun. Yang lewat juga truk lintas provinsi. Muatan berat.

Sebagai penutup, saya ingin memberi pesan bahwa bencana banjir grobogan ini haruslah memberikan kita pembelajaran dan menambah kebijaksanaan.






Ditulis oleh Wahyu Dwi Pranata

Direktur Grobogan Maju

Kepala Perpustakaan Rakyat Grobogan Maju

Posting Komentar untuk "Banjir Bukanlah Bencana, Namun Sebuah Pembelajaran "