Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tradisi Maulidan (Sekarang), Sepi Makna Banyak Gebyarnya

 

(Dok : Kumparan)

Biliksantri.com - Sebuah kitab klasik karangan ulama Jawa disebutkan "Barang siapa yang mengagungkan hari kelahiranku (Nabi Muhammad SAW) maka ia bersamaku di surga"

Sebuah sabda yang mengilhami hampir semua orang. Mendorong mereka untuk melakukan tindakan kasunyatan suci. Sabda tersebut menjadi sebuah pondasi tradisi yang dikenal dengan muludan atau maulidan.

Mengagungkan hari kelahiran Nabi merupakan momentum istimewa. Kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh orang tua, muda, dewasa, pria, wanita sampai anak-anak. Mereka mentradisikan, membaca al-Barzanzi, dibaan bahkan burdahan untuk memperbanyak sholawatan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dibalik uforia kegembiraan dan pengagungan tersebut, kita akan menemukan sebuah ‘lubang’ dan ‘retakan’. Ada makna dan arti yang lama kelamaan tergerus dan menipis. Subtansi tentang maulidan tersebut seakan terabaikan.

Apa yang hendak dicapai dari ritual tahunan tersebut seakan sirna. Bukankah ini suatu pengkerdilan terhadap tradisi mauludan?.

Kosong

Dalam beberapa obrolan dengan teman-teman misalnya, saya jarang menjumpai bahkan tidak ada konten yang berkaitan tentang perjalanan Nabi yang disinggung.

Mereka ‘kosong’ akan sejarah yang termuat di buku-buku yang dibaca dalam acara maulidan. Kebanyakan hanya fokus memperbanyak membaca sholawat dan berharap khasiat apa yang diperoleh darinya.

Sejalan dengan hal itu, penutupan maulidan pun seakan kering arti dan tanpa ada penjelasan yang setidaknya memadahi terkait maulidan.

Tokoh Agama yang seharusnya mengambil peran itu seakan tak punya referensi yang cukup. Dan tidak adanya kebiasaan untuk menjelaskan dijadikan alasan bersama. Ambyar sekali kan?

Uforia maulidan tidak menemukan klimaksnya. Ia gagal ‘orgasme’ memberikan pemahaman bagi masyarakat awam. Ada beberapa momen, pengajian akbar misalnya, yang diselenggarakan dengan dana yang luar biasa dan diharapkan mampu dan bisa mewakili intisari maulidan.

Pada kenyataannya ambyar juga. Sering panggung sepektakuler tersebut hanya dijadikan kebanggaan semata. Pengajian hanya dilihat dari siapa narasumbernya dan seberapa kuat tingkat kelucuannya. Ironi di atas ironi kawan. 

Kegelisahan dan kemuakan itu memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah cukup 'mengagungkan' hanya dengan membaca al barzanzi/dibaan/burdahan tanpa kita sedikit menengok artikulasinya? 

Bukankah kitab-kitab itu berisi sejarah/siroh kanjeng Nabi Muhammad SAW yang perlu ‘dikristalisasi’ ke dalam jiwa-jiwa generasi kita? Mengapa spirit untuk membedah referensi tersebut sepi peminat dan tidak menarik? Apakah ada anggapan bahwa referensi tersebut kurang ilmiah dan hanya dogmatis?

Generasi kita akan jauh dari subtansi maulidan dan hanya akan terpaku pada bentuk luar dari tradisi maulidan. Momentum ini seharusnya bisa menjadi sumber telaah dan pemahaman isi.

Yang perlu disadari juga adalah kitab atau buku yang dibaca 100% berbahasa arab dan masyarakat kita kebanyakan sangat awam dengan bahasa arab.

Bukankah ‘bi lisani qaumihim’ merupakan motivasi dan sekaligus teknik yang sudah disinggung dalam Firman Allah. Maka sekali lagi arah dan tujuan maulidan semakin luntur dan kabur.

Mari kita renungi kembali arti maulidan. Bukan sekadar gebyarnya acara, namun lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam tradisi maulidan.



Muhammad Nur Salim

Direktur Biliksantri.com

Posting Komentar untuk "Tradisi Maulidan (Sekarang), Sepi Makna Banyak Gebyarnya"