Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tradisi Selametan, Simbol 'Jati Diri' Manusia Pancasila

Suasana Slametan di Desa (Dok: Salim)

Biliksantri.com - Membahas budaya Islami Nusantara memang tak pernah habis. Asimilasi antara kultur Jawa dan ajaran Islam telah menciptakan budaya baru yang bijaksana. Masyarakat dahulu terkhusus Jawa telah dikenalkan yang namanya berkatan oleh para wali. Filosofi berkat yang hanya berupa makanan ternyata memiliki ajaran yang luar biasa.

Berkat dikeluarkan pemilik gawe (tuan rumah) saat selesai acara selametan. Biasanya dalam tradisi selametan terdiri dari bacaan-bacaan dzikir dan sholawat (baca majalah Paradigma edisi 29).

Konsep selametan ini memiliki keterkaitan dengan filosofi dasar negara Indonesia yakni Pancasila. Lima butir sila yang kita kenal selama ini berbanding lurus dengan tradisi selametan yang di Nusantara.

Bisa disimpulkan bahwa Pancasila adalah 'reinkarnasi' dari selametan. Meskipun nama Pancasila sendiri diambil dari Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular, sastrawan legendaris dari Kerajaan Majapahit. Tetapi isinya sangat menggambarkan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa berbanding lurus dengan dzikir saat selametan yakni membaca kalimat tayyibah laailahaillaah. Tuhan umat Islam itu hanya satu yakni Allah. Tradisi selametan kurang utama kalau tidak mengikutsertakan kalimat tersebut.

Esensi sila pertama adalah mempercayai bahwa keselamatan dunia dan akhirat tetap terjalur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Etika selametan juga unik. Memakai sarung dan kopiah menjadi simbol kesopanan dan kesederhanaan. Dua sifat inilah yang membuat marwah atau kewibawaan seseorang terangkat. Menjadikan manusia yang beradab dalam segala perkataan dan perbuatan. Karena tidak mungkin dalam selametan itu berdoa dengan cara kasar dan jelek.

Ketiga, persatuan Indonesia. Tradisi ini juga berhasil menyatukan seluruh masyarakat dalam satu lingkup acara. Persatuan yang dibangun dalam selametan ialah konsep kebersamaan.

Rasa saling membutuhkan  menjadi ‘barang mahal’ di tengah pesan negatif globalisasi dan pemahaman agama yang sempit dalam masyarakat majemuk (Rosyid, Moh, 2015: 32).

Oleh karenanya, selametan menjadi simbol persatuan bangsa yang perlu ditiru. Perbedaan adalah hal yang lumrah (Jawa: biasa) dan persatuan adalah jalan keluarnya.

Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Tradisi selametan biasanya diketuai oleh kiai/tokoh agama yang dianggap mampu memimpin selametan.

Permasalahan yang ada dalam masyarakat terwakilkan oleh para tokoh setempat sebagai perwakilan dalam memberi solusi dari segala urusan mereka.

Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selametan pada dasarnya mengajarkan keadilan. Dalam sebuah selametan baik kalangan kaya, miskin, tidak dibedakan. Tetapi sama-sama merasakan kenikmatan yang diberikan oleh tuan rumah. Si tuan rumah pun merasa hal tersebut menunjukan bahwa ia tidak mengagung-agungkan seseorang yang dinilai paling hebat.


(Ditulis oleh Muhammad Nur Salim) Kolomnis Biliksantri.com

Posting Komentar untuk "Tradisi Selametan, Simbol 'Jati Diri' Manusia Pancasila"